Bunayatii Shofiyyah

Selasa, 08 Desember 2009

Muhammad bin Abdul Wahhab: Fitnah Nejed?

(Kritikan Ilmiah untuk Penentang Dakwah Tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)

disusun oleh:

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

.

membela dakwah tauhidSesungguhnya Alloh telah berjanji menjaga kemurnian agama-Nya, dengan membangkitkan sebagian hamba-Nya untuk berjuang membela agama dan membantah ahli bid’ah, para pengekor hawa nafsu, yang seringkali menyemarakkan agama dengan kebid’ahan dan mempermainkan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah seperti anak kecil mempermainkan tali mainannya. Mereka memahami nash-nash dengan pemahaman yang keliru dan lucu. Hal itu karena mereka memaksakan dalil agar sesuai dengan selera hawa nafsu.

Bila anda ingin bukti, terlalu banyak, tetapi contoh berikut ini mungkin dapat mewakili.

Dalam sebuah majalah bulanan yang terbit di salah satu kota Jawa timur, seorang yang menamakan dirinya ”Masun Said Alwy” menulis sebuah artikel sekitar sepuluh halaman berjudul ”Membongkar Kedok Wahabi, Satu Dari Dua Tanduk Setan”.

Setelah penulis mencoba membaca tulisan tersebut, ternyata hanya keheranan yang saya dapati. Bagaimana tidak? Tulisan tersebut tiada berisi melainkan kebohongan dan kedustaan, sampai-sampai betapa hati ini ingin sekali berkata kepada penulis makalah tersebut, ”Alangkah beraninya anda berdusta! Tidakkah anda takut siksa?!”

Sungguh banyak sekali kebohongan yang kudapati([1]), namun yang menarik perhatian kita untuk menjadi topik bahasan rubrik hadits adalah ucapannya yang berkaitan tentang “hadits” sebagai berikut:

”Sungguh Nabi SAW telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi ini dalam beberapa hadits, ini merupakan tanda kenabian beliau SAW dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih Bukhari & Muslim dan lainnya”. Di antaranya:

الْفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا الْفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى الْمَشْرِقِ

Fitnah itu datangnya dari sana, fitnah itu datangnya dari arah sana, sambil menunjuk ke arah timur (Nejed). HR. Muslim dalam Kitabul Fitan

يَخْرُجُ نَاسٌ مِنَ الْمَشْرِقِ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لاَ يَعُوْدُوْنَ فِيْهِ حَتَّى يَعُوْدَ السَّهْمُ إِلَى فَوْقِهِ سِيْمَاهُمْ التَّحْلِيْقُ. رواه البخاري

Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seperti anak anah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ke tempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur. HR. Bukhari no 7123, Juz 6 hal 20748. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ibnu Hibban.

Nabi SAW pernah berdoa

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا

Ya Alloh, berikanlah kami berkah dalam negara Syam dan Yaman.

Para sahabat bertanya: Dan dari Nejed wahai Rasulullah, beliau berdoa: Ya Alloh, berikanlah kami berkah dalam negara Syam dan Yaman, dan pada yang ketiga kalinya beliau SAW bersabda:

هُنَاكَ الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ وَفِيْ رِوَايَةٍ قَرْنَا الشَّيْطَانِ

Di sana (Nejed) akan ada keguncangan fitnah serta di sana pula akan muncul tanduk Syetan. Dalam riwayat lain: Dua tanduk Syetan.


Bani Hanifah adalah kaum nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad bin Su’ud. Kemudian dalam kitab tersebut Sayyid Alwi menyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain ialah Muhammad bin Abdul Wahhab…”.

Dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul). Dan ini adalah merupakan nash yang jelas ditujukan kepada para penganut Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia telah memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya hingga mereka yang mengikuti tidak diperbolehkan berpaling dari majlisnya sebelum bercukur gundul. Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya seperti yang dikatakan oleh Sayyid Abdur Rahman al-Ahdal: “Tidak perlu kita menulis buku untuk menolak Muhammad bin Abdul Wahhab, karena sudah cukup ditolak oleh hadits-hadits Rasulullah SAW itu sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul), karena ahli bid’ah sebelumnya tidak pernah berbuat demikian”.

Al Allamah Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Al-Quthub Abdullah Al-Haddad menyebutkan dalam kitabnya “Jala’udz Dzolam” sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib dari Nabi SAW:

سَيَخْرُجُ فِيْ ثَانِيْ عَشَرَ قَرْنًا فِيْ وَادِيْ بَنِيْ حَنِيْفَةَ رَجُلٌ كَهَيْئَةِ الثَّوْرِ لاَيَزَالُُ يَلْعَقُ بَرَاطِمَهُ يَكْثُرُ فِيْ زَمَانِهِ الْهَرَجُ وَالْمَرَجُ يَسْتَحِلُّوْنَ أَمْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَيَتَّخِذُوْنَهَا بَيْنَهُمْ مَتْجَرًا وَيَسْتَحِلُّوْنَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ

Akan keluar di abad kedua belas nanti di lembah Bani Hanifah seorang lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan (sombong), lidahnya selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu banyak terjadi kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin, diambil untuk berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin”. Al-Hadits.

INILAH JAWABANNYA

Demikianlah teks ucapannya sebagaimana termuat dalam Majalah ”Cahaya Nabawiy” Edisi 33 Th. III Sya’ban 1426 H (September 2005 M) hal. 15-17 tanpa saya kurangi atau tambahi (adapun penulisan cetak tebal dalam beberapa kata atau kalimat adalah dari admin blog). Ucapan di atas mendorong penulis menanggapinya dalam tiga point pembahasan:

I. Pertama: Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab Adalah Fitnah Nejed?([2])

Sebenarnya apa yang dilontarkan oleh saudara Masun Said Alwy di atas bukanlah hal baru melainkan hanyalah daur ulang dari para pendahulunya yang mempromosikan kebohongan ini, semisal al-Haddad dalam Mishbahul Anam hal. 5-7, al-A’jili dalam Kasyful Irtiyab hal. 120, Ahmad Zaini Dahlan dalam Durarus Saniyyah fir Raddi ‘alal Wahhabiyyah hal. 54([3]), Muhammad Hasan al-Musawi dalam al-Barahin al-Jaliyyah hal. 71, an-Nabhani dalam ar-Raiyah ash-Sughra hal. 27, dan lain-lain dari orang-orang yang hatinya disesatkan Alloh. Semuanya berkoar bahwa maksud ”Nejed” dalam hadits-hadits di atas adalah Hijaz (Saudi Arabia sekarang) dan maksud fitnah yang terjadi adalah dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab!

Kebohongan ini sangat jelas bagi orang yang dikaruniai hidayah ilmu dan diselamatkan dari hawa nafsu, ditinjau dari beberapa segi:

A. Hadits itu saling menafsirkan

Bagi orang yang mau meneliti jalur-jalur hadits ini dan membandingkan lafazh-lafazhnya, niscaya tidak samar lagi baginya penafsiran makna Nejed yang benar dalam hadits ini. Dalam lafazh yang dikeluarkan Imam Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir 12/384 no.13422 dari jalur Ismail bin Mas’ud: Menceritakan kami Ubaidullah bin Abdullah bin Aun dari ayahnya dari Nafi’ dari Ibnu Umar – dengan lafazh:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا. فَقَالَهَا مِرَارًا, فَلَمَّا كَانَ فِيْ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ, قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا؟ قَالَ: إِنَّ بِهَا الزَّلاَزِلَ وَالْفِتَنَ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

Wahai Alloh berkahilah kami dalam Syam kami, wahai Alloh berkahi kami dalam Yaman kami. Beliau mengulanginya beberapa kali, pada ketiga atau keempat kalinya, para sahabat berkata, ”Wahai Rasulullah! Dalam Iraq kami?” Beliau menjawab, ”Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.”

* Sanad hadits ini bagus. Ubaidullah seorang yang dikenal haditsnya, sebagaimana kata Imam Bukhari dalam Tarikh al-Kabir 5/388/1247. Ibnu Abi Hatim berkata dalam al-Jarh wat Ta’dil 5/322 dari ayahnya, ”Shalih (bagus) haditsnya.”

* Dan dikuatkan dalam riwayat Ya’qub al-Fasawi dalam al-Ma’rifah 2/746-748, al-Mukhallish dalam al-Fawa’id al-Muntaqah 7/2-3, al-Jurjani dalam al-Fawa’id 2/164, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 6/133, dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimsyaq 1/120 dari jalur Taubah al-‘Anbari dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya dengan lafazh:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَكَّتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَدِيْنَتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ صَاعِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِيْ مُدِّنَا. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَأَعْرَضَ عَنْهُ, فَرَدَّدَهَا ثَلاَثًا, كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ الرَّجُلُ: وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَيُعْرِضُ عَنْهُ, فَقَالَ: بِهَا الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

Wahai Alloh berkahilah kami dalam Makkah kami, wahai Alloh berkahilah kami dalam Madinah kami, wahai Alloh berkahilah kami dalam Syam kami. Wahai Alloh, berkahilah kami dalam sha’ kami dan berkahilah kami dalam mudd kami. Seorang bertanya, ”Wahai Rasulullah! Dalam Iraq kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan mengulangi tiga kali. Namun tetap saja orang tersebut mengatakan, ”Dalam Iraq kami.” Nabi pun berpaling darinya seraya bersabda, ”Di sanalah kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.” (Sanad hadits ini shahih, sesuai syarat Bukhari-Muslim)

* Imam Muslim dalam Shahihnya 2905 meriwayatkan dari Ibnu Fudhail dari ayahnya, dia berkata, ”Saya mendengar ayahku Salim bin Abdullah bin Umar berkata:

يَا أَهْلَ الْعِرَاقِ! مَا أَسْأَلَكُمْ عَنِ الصَّغِيْرَةِ وَأَرْكَبَكُمْ عَنِ الْكَبِيْرَةِ, سَمِعْتُ أَبِيْ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَقُوْلُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : إِنَّ الْفِتْنَةَ تَجِيْئُ مِنْ هَا هُنَا وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ, مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

Wahai penduduk Iraq! Alangkah seringnya kalian bertanya tentang masalah-masalah sepele dan alangkah beraninya kalian menerjang dosa besar! Saya mendengar ayahku Abdullah bin Umar mengatakan, ”Saya mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ’Sesungguhnya fitnah datangnya dari arah sini –beliau sambil mengarahkan tangannya ke arah timur–, dari situlah muncul tanduk setan….’”

Riwayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa maksud ”arah timur” adalah Iraq sebagaimana dipahami oleh Salim bin Abdullah bin Umar.

* Al-Khaththabi berkata dalam I’lam Sunan 2/1274, ”Nejed: arah timur. Bagi penduduk kota Madinah, nejednya adalah Iraq dan sekitarnya. Asli makna ’Nejed’ adalah setiap tanah yang tinggi, lawan kata dari ’Ghaur’ yaitu setiap tanah yang rendah seperti Tihamah (sebuah kota di Makkah–pen) dan Makkah. Fitnah itu muncul dari arah timur dan dari arah itu pula keluar Ya’juj dan Ma’juj serta Dajjal sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits.”

* Demikian pula dijelaskan oleh para ulama lainnya seperti:

1. al-‘Aini dalam Umdatul Qari 24/200,
2. al-Kirmani dalam Syarh Shahih Bukhari 24/168,
3. al-Qashthalani dalam Irsyad Sari 10/181,
4. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/47,
5. dan sebagainya.

Hal ini dapat kita temukan juga dalam kitab-kitab kamus bahasa Arab seperti al-Qamus al-Muhith oleh ar-Razi dan Lisanul Arab oleh Ibnu Manzhur, dan dalam kitab-kitab gharib hadits seperti an-Nihayah fi Gharib Hadits oleh Ibnu Atsir.

Dengan sedikit keterangan di atas, jelaslah bagi orang yang memiliki pandangan, bahwa maksud ”Nejed” dalam riwayat hadits di atas bukanlah nama negeri tertentu, tetapi untuk setiap tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Dengan demikian maka Nejed yang dikenal oleh dunia Arab banyak sekali jumlahnya. (lihat Mu’jam al-Buldan 5/265, Taj al-Arus 2/509, Mu’jam al-Mufahras li Alfazh Hadits 8/339)

* Jadi, Nejed yang merupakan tempat munculnya tanduk setan dan sumber kerusakan (fitnah) adalah arah Iraq. Karena itulah timur kota Madinah Nabawiyah. Maka seluruh riwayat dan lafazh hadits ini kalau digabungkan, ternyata saling menafsirkan antara satu dengan lainnya, sebagaimana hal ini juga dikuatkan oleh penafsiran para ulama –yang terdepan adalah Salim, anak Ibnu Umar-radhiyallahu a’nhu- dan para pakar ahli bahasa.

.

(2) Sejarah dan fakta lapangan membuktikan kebenaran hadits Nabi n/ di atas. Benarlah, Iraq adalah sumber fitnah([4]), baik yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Seperti:

1. Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj,
2. Perang Jamal,
3. Perang Shifin,
4. Fitnah Karbala’,
5. Tragedi Tatar.
6. Demikian pula munculnya kelompok-kelompok sesat seperti

* Khawarij yang muncul di kota Harura’ –kota dekat Kufah–,
* Rafidhah (Syi’ah) –hingga kini masih kuat–,
* Mu’tazilah,
* Jahmiyah, dan
* Qadariyah.

Awal kemunculan mereka di Iraq, sebagaimana dalam hadits pertama Shahih Muslim.


Dan kenyataan yang kita saksikan dengan mata kepala pada saat ini, keamanan di Iraq terasa begitu mahal. Banyak peperangan dan pertumpahan darah, serta andil (campur tangan) orang-orang kafir dalam menguasai Iraq. Kita berdo’a kepada Alloh agar memperbaiki keadaan di Iraq, menetapkan langkah para mujahidin di Iraq dan menyatukan barisan mereka. Amiin.

* Ibnu Abdil Barr berkata dalam al-Istidzkar (27/248), ”Rasulullah mengkhabarkan datangnya fitnah dari arah timur, dan memang benar secara nyata bahwa kebanyakan fitnah muncul dari timur dan terjadi di sana. Seperti perang Jamal, perang Shifin, terbunuhnya al-Husain, dan lain sebagainya dari fitnah yang terjadi di Iraq dan Khurasan semenjak dahulu hingga sekarang. Akan sangat panjang kalau mau diuraikan. Memang, fitnah terjadi di setiap penjuru kota Islam, namun terjadinya dari arah timur jauh lebih banyak.”

* Syaikh Abdur Rahman bin Hasan berkata dalam Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il (4/264-265), ”Telah terjadi di Iraq beberapa fitnah dan tragedi mengerikan yang tidak pernah terjadi di Nejed Hijaz. Hal itu diketahui oleh seorang yang menelaah sejarah, seperti keluarnya Khawarij, pembunuhan al-Husain, fitnah Ibnu Asy’ats, fitnah Mukhtar yang mengaku sebagi nabi … dan apa yang terjadi pada masa pemerintahan Hajjaj berupa pertumpahan darah, sangat panjang kalau mau diuaraikan.”

* Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi al-Iraqi berkata dalam Ghayatul Amani (2/180), ”Tidak aneh, Iraq memang pusat fitnah dan musibah. Penduduk Islam di sana selalu dihantam fitnah satu demi satu. Tidak samar lagi bagi kita, fitnah ahli Harura’ (kelompok Khawarij–pen) yang mencemarkan Islam. Fitnah Jahmiyah yang banyak dikafirkan oleh mayoritas ulama salaf juga muncul dan berkembang di Iraq. Fitnah Mu’tazilah dan ucapan mereka terhadap Hasan al-Bashri serta lima pokok ajaran mereka yang berseberangan dengan paham Ahli Sunnah begitu masyhur. Fitnah ahli bid’ah kaum sufi yang menggugurkan beban perintah dan larangan yang berkembang di Bashrah. Dan fitnah kaum Rafidhah dan Syi’ah serta perbuatan ghuluw (berlebihan) mereka terhadap ahli bait, ucapan kotor terhadap Ali bin Abu Thalib-radhiyallahu a’nhu- serta celaan terhadap pembesar para sahabat, merupakan hal yang sangat masyhur juga.”

.

(3) Anggaplah bahwa ”Nejed” yang dimaksud hadits di atas adalah Nejed Hijaz, tetap saja tidak mendukung keinginan mereka, sebab hadits tersebut hanya mengkhabarkan terjadinya fitnah di suatu tempat, tidak menvonis perorangan seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Terjadinya suatu fitnah di suatu tempat, tidaklah mengharuskan tercelanya setiap orang yang bertempat tinggal di tempat tersebut.

* Bukankah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga mengkhabarkan akan terjadi fitnah di kota Madinah Nabawiyah?! Seandainya terjadinya fitnah di suatu tempat pasti mengakibatkan setiap penduduknya tercela, maka itu artinya seluruh penduduk Madinah tercela, padahal tak seorangpun mengatakan hal ini. Bahkan tidak ada suatu tempat pun di dunia ini –baik telah terjadi maupun belum– kecuali akan terjadi fitnah di dalamnya. Lantas akankah seseorang berani mencela seluruh kaum muslimin seantero dunia?! Jadi, timbangan celaan seorang bukanlah karena dia lahir di tempat ini atau itu. Tetapi timbangannya adalah kalau dia sebagai pencetus fitnah berupa kekufuran, kesyirikan, dan kebid’ahan. (Shiyanatul Insan ‘an Waswasah Syaikh Dahlan hal. 498-500 oleh Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi)

* Syaikh Abdur Rahman bin Hasan mengatakan, ”Bagaimanapun juga, celaan itu silih berganti waktu tergantung kepada penduduknya, sekalipun memang tempat itu bertingkat-tingkat keutamaannya. Tempat maksiat pada suatu waktu bisa saja akan menjadi tempat ketaatan di waktu lain, demikian pula sebaliknya.

* Seandainya Nejed tercela karena Musailamah (al-Kadzdzab) setelah kemusnahannya bersama para pengikutnya, niscaya Yaman juga tercela karena Aswad al-Ansiy yang mengaku nabi….

* Kota Madinah tidaklah tercela karena kaum Yahudi tinggal di sana dan kota Makkah tidaklah tercela disebabkan penduduknya dahulu mendustakan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan memusuhi dakwahnya.” (Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il 4/265).

Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rahman bin Hasan berkata dalam Minhaj Ta’sis wa Taqdis hal. 92,

”Timbangan keutamaan itu tergantung pada penduduknya, berbeda dan berpindah bersama ilmu dan agama. Kota dan desa yang paling utama di setiap waktu adalah yang paling banyak ilmu dan sunnahnya, dan sejelek-jelek kota adalah yang paling sedikit ilmu, paling banyak kejahilan, kebid’ahan, dan kesyirikan, paling lemah dalam menjalankan sunnah dan jejak salafush shalih. Jadi, keutamaan kota itu tergantung kepada penduduk dan orangnya.”

Sebagai kesimpulan, penulis ingin menurunkan ucapan berharga dari penjelasan ahli hadits abad ini, Muhammad Nashiruddin al-Albani yang telah menepis salah paham hadits ini dalam berbagai kesempatan. Beliau berkata setelah takhrij hadits yang panjang,

”Sengaja saya memperluas keterangan takhrij hadits shahih ini serta menyebutkan jalur dan lafazh-lafazhnya, karena sebagian ahli bid’ah yang memerangi sunnah dan menyimpang dari tauhid telah mencela Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, pembaharu dakwah tauhid di jazirah Arab, dan mereka mengarahkan hadits ini pada beliau, dengan alasan karena beliau berasal dari Nejed yang populer saat ini.

Mereka tidak tahu atau memang pura-pura tidak tahu bahwa hal itu bukanlah yang dimaksud oleh hadits ini, namun yang dimaksud adalah Iraq sebagaimana dijelaskan oleh kebanyakan jalur hadits ini. Demikianlah yang ditegaskan oleh para ulama semenjak dahulu seperti Imam Khaththabi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan sebagainya.

Mereka tidak tahu juga bahwa orang yang berasal dari negeri tercela tidaklah otomatis dia tercela kalau memang dia orang yang shalih. Demikian pula sebaliknya, betapa banyak orang fajir dan fasik di Makkah, Madinah, dan Syam. Dan betapa banyak orang alim dan shalih di Iraq([5])? Alangkah bagusnya ucapan Salman al-Farisi kepada Abu Darda’ tatkala mengajak dirinya hijrah dari Iraq ke Syam, ”Amma ba’du, sesungguhnya negeri yang mulia tidaklah membuat seorang pun menjadi mulia, namun yang membuat mulia ialah amal perbuatannya.”

(Silsilah Ahadits Shahihah 5/305)

Beliau juga berkata,

”Jalur-jalur hadits ini menguatkan bahwa arah yang diisyaratkan oleh Nabi adalah arah timur, yang tepatnya adalah Iraq, sebagaimana anda lihat secara jelas dalam sebagian riwayat. Hadits ini merupakan tanda diantara tanda-tanda kenabian, sebab awal fitnah adalah dari arah timur, yang merupakan penyebab perpecahan di tengah kaum muslimin, demikian pula bid’ah-bid’ah muncul dari arah yang sama, seperti bid’ah Syi’ah, Khawarij, dan sebagainya. Imam Bukhari 7/77 dan Ahmad 2/85, 153 meriwayatkan dari Ibnu Abi Nu’min, bahwasanya dia menyaksikan Ibnu Umar -radhiyallahu a’nhu- ketika ditanya oleh seorang dari Iraq tentang hukum membunuh lalat bagi muhrim (orang yang sedang ihram). Maka berkata Ibnu Umar,

’Wahai penduduk Iraq! Kalian bertanya kepadaku tentang orang muhrim membunuh lalat, padahal kalian telah membunuh anak putri-Rasulullah, sedangkan beliau (Nabi) sendiri bersabda: Keduanya (al-Hasan dan al-Husain) adalah kesayanganku di dunia.’”

(Silsilah Ahadits Shahihah 5/655-656)

Beliau juga berkata,

”Apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah terbukti. Sebab kebanyakan fitnah besar munculnya dari Iraq, seperti peperangan antara Ali dan Mu’awiyah, antara Ali dan Khawarij, antara Ali dan Aisyah, dan sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah. Dengan demikian, hadits ini merupakan salah satu mu’jizat dan tanda-tanda kenabiannya.”

(Takhrij Ahadits Fadha’il Syam wa Dimsyaq, hal. 26-27)

.

II. Kedua: Muhammad bin Abdul Wahhab dan cukur rambut([6])

Adapun tudingan saudara Masun Said Alwy bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya dan ini termasuk dalam hadits Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang Khawarij, ”Tanda mereka adalah cukur rambut.”

* Kebohongan ini pun bukanlah hal yang baru. Ini hanya daur ulang dari para pembohong sebelumnya seperti:

1. Jamil az-Zuhawi al-Iraqi dalam al-Fajr ash-Shadiq dan
2. Ahmad Zaini Dahlan dalam Durarus Saniyyah,
3. dan lain-lain.

Tuduhan ini sangat mentah. Tujuan di balik itu sangat jelas, yaitu melarikan manusia dari dakwah yang disebarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada beberapa point untuk mendustakan tuduhan ini:

(1) Mereka mendustakan tuduhan bohong ini

* Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata tatkala membantah tuduhan bahwa ulama dakwah mengkafirkan orang yang tidak mencukur rambut kepalanya, ”Sesungguhnya ini adalah kedustaan dan kebohongan kepada kami. Seorang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir tidak mungkin melakukan hal ini. Karena kekufuran dan kemurtadan tidaklah terealisasikan kecuali dengan mengingkari perkara-perkara agama yang maklum bi dharurah (diketahui oleh semua). Macam-macam kekufuran, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan adalah perkara yang maklum bagi para ahli ilmu. Tidak mencukur rambut kepala bukanlah termasuk di antaranya (kekufuran atau kemurtadan), bahkan kamipun tidak berpendapat bahwa mencukur rambut adalah sunnah, apalagi wajib, apalagi kufur keluar dari Islam bila ditinggalkan.” (Durarus Saniyyah 10/275-276, cet. kelima)

* Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata, ”Ini termasuk kebohongan, kedustaan, kezhaliman, dan penganiayaan.” (adh-Dhiya’ asy-Syariq hal. 119)

* Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi berkata juga, ”Ini adalah kedustaan yang sangat jelas dan kebohongan yang sangat keji.” (Shiyanatul Insan ‘an Waswasah Syaikh Dahlan hal. 560)

(2) Pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang mencukur rambut

* Merupakan bukti yang menguatkan kebohongan tuduhan ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menjelaskan pendapatnya dalam masalah mencukur rambut atau memeliharanya, yang menyelisihi tuduhan musuh-musuhnya. Beliau berkata, ”Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang yang memelihara rambutnya? Dia menjawab, ’Sunnah yang bagus, seandainya kami mampu maka kami akan melakukannya. Rambut Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai ke bahunya.’ Dan disunnahkan sifat rambut seorang seperti sifat rambut Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kalau panjang maka sampai ke bahu, kalau pendek maka sampai ke daun telinga.”

* Beliau juga berkata, ”Dibencikah mencukur rambut kepala pada selain haji dan umrah? Ada dua riwayat; Pertama: Dibenci, berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang Khawarij, ’Tanda mereka adalah bercukur.’ Kedua: Tidak dibenci, berdasarkan larangannya tentang qaza’ (mencukur sebagian rambut dan membiarkan sebagian lainnya), ’Cukurlah semua atau biarkan semua.’ (HR. Abu Dawud). Ibnu Abdil Barr berkata, ’Para ulama di setiap tempat bersepakat bolehnya bercukur.’ Cukuplah ini sebagai hujjah.” (Mukhtashar al-Inshaf wa Syarh al-Kabir, kumpulan karya Syaikh Ibnu Abdil Wahhab 1/28, cet. Jami’ah Imam)

(3) Pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang Khawarij

* Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dikategorikan termasuk hadits yang disinyalir Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang Khawarij, padahal beliau sendiri berlepas diri dari Khawarij. Perhatikan ucapannya, ”Telah mutawatir hadits-hadits dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang ciri-ciri khawarij, kejelekan mereka serta anjuran memerangi mereka.” (Mukhtashar Sirah Rasul hal. 498)

(4) Ibadah dengan mencukur gundul merupakan syi’ar Khawarij

* Adapun ucapan saudara ”Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya”, ini merupakan kesalahan dan kejahilan. Sebab ibadah dengan cukur gundul ini adalah syi’ar aliran sesat Khawarij dan diikuti sebagian sufi.

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata dalam Fatawanya (hal. 347): ”Alasan para ulama membenci cukur rambut dan menganggapnya menyelisihi sunnah karena hal itu adalah syi’ar Khawarij dahulu.” (lihat pula Aridhatul Ahwadzi 7/256 oleh Ibnul Arabi dan Fathul Bari 13/669 oleh Ibnu Hajar)

* Dan (syi’ar) ini juga diikuti oleh sebagian kelompok sufi, sebagaimana dijelaskan oleh:

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam: al-Istiqamah 1/256
2. dan muridnya, Ibnul Qayyim, dalam Ahkam Ahli Dzimmah2/749.

Maka ucapan “Hal ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya” adalah kejahilan dan kesalahan.

.

III. Ketiga: Berdusta atas nama hadits([7])

Adapun hadits yang dinukil oleh saudara Masun Said Alwy dari kitab “Jala’udz Dzolam fir Raddi ‘ala Najdi Al-Ladzi Adholla Awam” oleh Sayyid Alwy al-Haddad dari Abbas bin Abdul Muthallib, maka ini adalah kebodohan di atas kebodohan. Sebab hadits ini tidak ada asal usulnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits, tetapi tetap dijadikan argumen untuk mendukung hawa nafsunya.

* Anda jangan tertipu dengan ucapan di akhirnya: “Al-Hadits”!!

Seandainya itu diriwayatkan oleh ahli hadits, maka mengapa tidak dia sebutkan?! Apa beratnya? Lebih terkejut lagi, kalau anda tahu bahwa ucapan “Al-Hadits” ini sebenarnya bukan dari kitab aslinya, melainkan hanyalah ucapan Masun Said Alwy.

* Seharusnya saudara Masun Said Alwy menukil takhrij lucu dari kitab aslinya. Si pengarang kitab tersebut mengatakan, ”Hadits ini memiliki syawahid (penguat-penguat) yang mendukung maknanya, sekalipun tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya.” !!

* Kalau memang tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya, mengapa dia berdalil dengannya?! Jadi, hadits ini hanyalah buatan orang tersebut dan yang semodel dengannya. Dia berdusta atas nama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- secara terang-terangan di depan makhluk. Aduhai, alangkah rusaknya hati yang berani berbuat demikian, dan alangkah buruknya hati yang mencintai orang-orang model mereka! Mereka berdusta atas nama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mengaku cinta Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Mungkinkah dua hal ini dapat bersatu di hati seseorang?! Sekali-kali tidak, kecuali di hati seorang ahli bid’ah dan pendusta.

* Sungguh lucu ucapannya “Tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya”. Seandainya dia menyandarkannya kepada kitab yang tidak ada wujudnya, niscaya akan lebih laris kebohongannya di tengah-tengah orang-orang jahil, bukan bagi para ulama yang mengetahui cahaya ucapan Nabi.

Kami harap anda jangan heran, karena berdusta dan menyebarkan hadits-hadits dusta adalah kebiasaan setiap penggemar bid’ah.

.

PENUTUP & NASIHAT

Usai kita menanggapi tiga permasalahan di atas, penulis merasa perlu menyodorkan nasihat bagi kita semua dan secara khusus kepada saudara Masun Said Alwy, penulis artikel ”Membongkar Kedok Wahabi”:

(1) Hendaknya kita mempelajari makna hadits dengan bantuan kitab-kitab syarah (penjelasan) para ulama agar tidak ngawur menafsirkannya.

* Alangkah indahnya ucapan Sufyan bin ‘Uyainah:

يَا أَصْحَابَ الْحَدِيْثِ تَعَلَّمُوْا مَعَانِيَ الْحَدِيْثِ فَإِنِّيْ تَعَلَّمْتُ مَعَانِيَ الْحَدِيْثِ ثَلاَثِيْنَ سَنَةً

Wahai penuntut ilmu hadits! Pelajarilah makna hadits, sesungguhnya saya mempelajari makna hadits selama tiga puluh tahun.

(2) Hendaknya kita lebih selektif dan kritis dalam menerima berita, sebagaimana yang diperintahkan Alloh dalam kitab-Nya (yang artinya):

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti. (QS. al-Hujurat: 6)

* Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata, ”Sesungguhnya telah sampai kepada para ulama India dan Yaman berita-berita tentang Syaikh Ibnu Abdil Wahhab. Lalu mereka membahas, memeriksa, dan meneliti sebagaimana perintah Alloh, hingga jelaslah bagi mereka bahwa para pencelanya adalah pembohong yang tidak amanah.” (Muqaddimah Syiyanatul Insan hal. 29-30)

* Maka kepada para pendengki dakwah ini, bersikap adillah kalian dan periksalah berita yang sampai kepada kalian, niscaya kalian akan segera sadar bahwa kalian dibutakan dengan kedustaan dan tuduhan!

(3) Seringkali kami menasehatkan kepada saudara-saudara kami agar waspada dalam menyampaikan hadits lemah dan palsu, apalagi dusta yang tidak ada asal usulnya. Ditambah lagi, apabila hal itu untuk mendukung selera hawa nafsu. Semua itu dosa yang sangat berbahaya, karena termasuk dusta atas nama Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

* Sebagaimana kami nasehatkan juga agar kita selektif dalam menyebutkan hadits, yaitu hendaknya disertai riwayatnya, jangan hanya sekedar menyebutkan “al-Hadits” begitu saja.

Akhirnya kita memohon kepada Alloh hidayah dan taufiq, sesungguhnya Dia Maha Pemurah.

.

Label:

Sabtu, 05 Desember 2009

MENJAWAB TUDUHAN BATIL TERHADAP DAKWAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDIL WAHHAB

MENJAWAB TUDUHAN BATIL TERHADAP DAKWAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDIL WAHHAB

Oleh
Abul Harits as-Salafy



KEDUSTAAN HIZBUT TAHRIR ATAS SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB

Sudah menjadi adat dan kebiasaan firqoh-firqoh sesat untuk memusuhi dan memfitnah kepada pembela dakwah yang haq, yang menyeru manusia kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah dan Sunnah rasul-Nya. Abdul Qodim Zallum rahimahullahu, salah satu tokoh Hizbut Tahrir dengan bangga mengatakan dalam bukunya yang berjudul Kaifa Hudimat Khilafah (dalam versi Indonesianya berjudul Konspirasi Barat meruntuhkan Khilafah Islamiyah, hal. 5), sebagai berikut : “Inggris berupaya menyerang negara Islam dari dalam melalui agennya, Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Gerakan Wahhabi diorganisasikan untuk mendirikan suatu kelompok masyarakat di dalam negara Islam yang dipimpin oleh Muhammad bin Saud dan dilanjutkan oleh anaknya, Abdul Aziz. Inggris memberi mereka bantuan dana dan senjata.”.....

Pada halaman selanjutnya dia mengatakan : “Telah diketahui dengan pasti bahwa gerakan Wahhabi ini di provokasi dan didukung oleh Inggris, menginggat keluarga Saud adalah agen Inggris. Inggris memanfaatkan madzhab Wahhabi, yang merupakan salah satu madzhab Islam dan pendirinya merupakan salah seorang mujtahid.”

Subhanallah ini adalah sebuah kedustaan dan fitnah, serta kezholiman terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab qoddasallahu ruuhahu yang mana hal ini tidak akan dilakukan kecuali oleh orang-orang yang benci terhadap Islam, benci terhadap Firqotun Najiyah, dan benci akan tersebarnya dakwah salafiyyah yang sesuai dengan Al-Qur'an dan as-Sunnah. Ingatlah akan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Isra’ ayat 36.

æóáÇó ÊóÞúÝõ ãóÇ áóíúÓó áóßó Èöåö Úöáúãñ Åöäøó ÇáÓøóãúÚó æóÇáúÈóÕóÑó æóÇáúÝõÄóÇÏó ßõáøõ ÃõæáóÆößó ßóÇäó Úóäúåõ ãóÓúÆõæáÇð

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.” [Al-Isra : 36]

Dan yang paling mengherankan lagi, orang-orang Hizbut Tahrir menolak khabar ahad / hadis ahad dalam masalah aqidah, walaupun hadis itu shohih dari Rasulullah karena hal itu tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, dan ketika dalam masalah/perkara yang sesuai dengan hawa nafsu mereka (Seperti kedustaan mereka atas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), dengan penuh keyakinan dan kebanggaan mereka menerima khabar ahad walaupun itu berasal dari seorang orentalis, sekaligus agen Inggris yang bernama Mr. Hamver yang juga seorang pendusta. Untuk lebih jelasnya mengenai siapa Hamver, marilah kita ikuti penjelasan Syaikh Malik Bin Husain dalam majalah Al-Asholah edisi ke 31 tertanggal 15 Muharram 1422 H, beliau berkata :

“Saya telah meneliti kitab yang beracun dengan judul Mudzakkarat Hamver dan nama Hamver ini tidak asing lagi. Pertama kali aku membacanya di Majalah Manarul Huda, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Maktabah al-‘Alaami yang staf redaksinya dari Jam’iyyah Al-Masyaari’ al-Khairiyyah Al-Islamiyyah pada edisi 28, Ramadhan 1415 H/1995. Majalah ini dikeluarkan oleh Jama’ah Al-Ahbasy, sebuah Jama’ah Sufiyyah berpangkalan di Yordania dan selalu memusuhi dakwah salaf dan para ulama’nya, dan mereka mendapat bantuan dana dari orang-orang Yahudi dalam operasionalnya.

Setelah saya membaca makalah ini, jiwaku terdorong untuk membaca kitab mudzakkarat mata-mata/intel Inggris ini, hingga aku mengetahui sampai sejauh mana kebenaran yang dinisbatkan kepada Al-Imam Al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitab ini. Ketika selesai membaca mudzakkarat ini, telah jelas bagiku bahwa itu merupakan sebuah dusta dari asalnya, dan Hamver ini adalah seorang yang asalnya tidak ada, lalu diada-adakan. Maka dari itu saya ingin menjelaskan kepada saudara-saudara sekalian tentang hal yang telah saya dapatkan dari peneletianku terhadap mudzakkarat ini, dalam rangka membela Imam Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- dan juga dapat pembelaan terhadap kaum muslimin dari tikaman orang-orang ahlul bid’ah. Allah Ta’ala berfirman :

Èóáú äóÞúÐöÝõ ÈöÇáúÍóÞøö Úóáóì ÇáúÈóÇØöáö ÝóíóÏúãóÛõåõ ÝóÅöÐóÇ åõæó ÒóÇåöÞñ æóáóßõãõ Çáúæóíúáõ ãöãøóÇ ÊóÕöÝõæäó

“Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.” [Al-Anbiya’ : 18]

Dan dalam ayat lain Allah berfirman :

íóÇÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÁóÇãóäõæÇ Åöäú ÌóÇÁóßõãú ÝóÇÓöÞñ ÈöäóÈóÃò ÝóÊóÈóíøóäõæÇ Ãóäú ÊõÕöíÈõæÇ ÞóæúãðÇ ÈöÌóåóÇáóÉò ÝóÊõÕúÈöÍõæÇ Úóáóì ãóÇ ÝóÚóáúÊõãú äóÇÏöãöíäó

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu”

Pada ayat ini ada pelajaran ilmiyah bagi kelompok orang-orang mukmin, yang menjaga agamanya dan menjaga hubungan persaudaran antar sesama muslim, dengan mencari kejelasan (tatsabut) terhadap semua berita miring yang dilontarkan untuk memecah belah barisan kaum muslimin.

Akan senantiasa terus menerus musuh-musuh dakwah (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah-) berusaha dengan berbagai cara untuk menghancurkan dakwah ini, yang tidak ada di dalamnya keilmiahan sedikitpun melainkan hanya kebohongan dan kedustaan, laa haula wala quwwata illa billah. Wahai para pencari kebenaran, risalah-risalah dan kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- telah tercetak, diantaranya adalah seperti dibawah ini :

Al-Aqidah satu jilid, Fiqih dua jilid, Mukhtasor Siroh Nabi, kumpulan fatwa-fatwa satu jilid, tafsir dan Mukhtasor Zaadul Ma’ad satu jilid, Rosail Sakhshiyaah satu jilid, Kitab Hadits lima jilid, Mulhaq dan Mushonnafat satu jilid. Jadi kesemuanya 12 jilid yang telah dikumpulkan oleh Lajnah Ilmiyah yang khusus menangani masalah ini dan berasal dari Jaami’ah (Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah), yang dikumpulkan serta diverifikasi oleh DR. Abdul Aziz bin Zaid Ar-Ruumi, DR. Muhammad Biltaaji dan DR. Sayyid Hijab, serta di cetak di Riyadh.

Maka barangsiapa yang ingin mencari kebenaran, hendaknya ia membandingkan ucapan Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- dengan ucapan musuh-musuh beliau. Karena kitab-kitabnya dan risalah-risalahnya telah tercetak. Kalau ada sesuatu yang benar dari kitab-kitab dan risalah-risalah beliau kita terima, dan kalau ada sesuatu yang salah maka kita tolak, dan kita tidak fanatik kepada seseorang siapapun dia, kecuali Rasulullah yang mana beliau tidak berkata dengan hawa nafsunya melainkan wahyu yang telah diwahyukan kepadanya.

Adapun kalau kita bersandar perkataan seorang Nasrani yang kafir yang tidak dikenal, yang gemar minum minuman keras sampai mabuk, bahkan dia menyebut kalau dirinya seorang pembohong. Maka keadaan kita persis seperti apa yang digambarkan oleh syair dibawah ini :

Barangsiapa yang menjadikan seokor burung gagak sebagai dalil (hujjah)

Maka dia (burung gagak) akan membawanya melewati bangkai-bangkai anjing

Bagaimana tidak, padahal yang telah jelas dari risalah-risalah dan bantahan-bantahan Al-Imam –rahimahullah- bahwasanya, di dalamnya ada penafian (penolakan) terhadap apa-apa yang dikaitkan dengan dakwah beliau yang berupa tuduhan-tuduhan, dan kedustaan-kedustaaan yang tidak pernah beliau ucapkan, bahkan beliau mengingkarinya, dan berulang-ulang beliau mengatakan : “Hadza buhtanun azhim (ini adalah suatu kedustaan yang besar)”.

Semoga Allah merahmati Imam Adz-Dzahabi yang mengatakan : “dan Kami belum pernah menjumpai yang demikian itu dalam kitab-kitabnya”. Ketika itu Syaikh Adz-Dzahabi menceritakan beberapa perkara yang dinukil oleh sebagian mereka yang dengannya Imam Ath-Thabari menjadi tertuduh.”

Dan saya (syaikh Malik) katakan : Sesungguhnya apa-apa yang disebutkan dalam mudzakkarat Hamver adalah omong kosong belaka, dan perkataan yang tidak berlandaskan dalil sama sekali. Dan hal ini tidaklah keluar kecuali dari dua macam manusia :

[1]. Orang yang bodoh kuadrat, tolol tidak bisa membedakan antara telapak tangannya dengan sikunya.
[2]. Orang yang memperturutkan hawa nafsu, ahlul bid’ah dan musuh dakwah tauhid.

Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya daging para ulama itu beracun, barangsiapa yang mencela para ulama’ maka Allah akan mengujinya sebelum ia mati dengan kematian hatinya. Kita memohon kepada Allah perlindungan dan keselematan.

Label:

Jumat, 04 Desember 2009

Membongkar selubung HT 3

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”kebanyakan dari umatku yang mati berdasarkan pada Kitabullah dan Al Qadha wal Qadar dai Allah adalah karenanya al anfus (dicabutnya nyawa)” (HR. Al Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id 5/6, Ibnu Hajar menshahihkannya dalam Fathul Bari 10/167)

Hizbut Tahrir mengatakan bahwa aqidah Islam yang ada pada Hizbut Tahrir adalah bersandarkan pada akal dan siyasi (Al Iman halaman 68 dan Hizbut tahrir halaman 6). Maka akal orang-orang ini adalah dasar dari agama. Mereka berkata “kami mengetahui Allah berdasarkan akal kami”. Tapi bertentangan dengan pernyataan ini, adalah pernyataannya Umar Bakri, bahwa salah satu sebab perpecahan di kalangan muslimin adalah ketika sebagian kaum muslimin menggunakan akal dalam membahas permasalahan aqidah (Tafsir surat Al Ma’idah 5/29).

Mereka menjelaskan bahwa khilafah tidak akan tegak dengan berdasarkan pada akhlaqul karimah, tetapi berdirinya khilafah adalah dengan pengoreksian terhadap doktrin aqidah dan manhaj yang dibawa atau dipraktekkan dalam Islam (At Taqatul Hizbi halaman 1).

Dan dikatakan oleh mereka bahwa dakwah pada akhlaqul karimah tidaklah akan membuat masyarakat menjadi benar dan tidak akan membuat tegaknya khilafah, tapi masyarakat itu akan tegak dikarenakan adanya koreksi pada doktrin aqidah dan tidaklah dengan menyerukan pada akhlaqul karimah (Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyir halaman 26-27).

Maka kita katakan “Masyarakat itu akan tegak dengan keduanya (aqidah dan akhlaqul karimah), dan Islam menyerukan pada keduanya”.

Taqiyuddin mengingkari adanya ikatan emosi pada jiwa manusia, tidak ada ikatan bathin. Dia katakan tidak ada ikatan emosi pada jiwa manusia dalam ajaran Islam. Karena pendapatnya inilah, kami melihat Hizbut Tahrir tidak mempunyai kelemah-lembutan dan akhlaqul karimah dalam menghadapi umat.

Dia berkata dalam Nizhamul Islam halaman 61 dan Al Fikrul Islami Al Mu’asyir halaman 202 bahwa mereka-mereka (para ulama Ahlus Sunnah) yang mengatakan bahwa wanita itu semuanya aurat, maka hal ini adalah bukti dari keruntuhan, perusakan akhlaq, padahal sudah pasti bahwa laki-laki dan perempua itu akan bertemu bersama-sama ketika melakukan transaksi jual-beli.

Lalu dia katakan dalam An Nizham halaman 10 dan 12, bahwa berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram itu tidak akan merusak akhlaq. Dia mengatakan bahwa bila wanita itu berhijab maka hal itu adalah keruntuhan dan perusakan akhlaq, tapi dia berkata bahwa berjabat tangan dengan wanita bukan mahram itu tidak merusak akhlaq.

Mereka mengatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah merupakan sebuah kelompok yang mengurusi masalah politik, seluruh kegiatannya adalah berhubungan dengan politik, ini yang mereka katakan.

Kegiatan mereka bukan pada hal tarbiyah, bukan pula pada memberikan targhib dan tarhib, namun semuanya hanyalah yang berikaitan dengan politik (Manhaj Hizbut Tahrir Fit Taghyir halaman 28 dan 31, juga dalam Hizbut Tahrir halaman 25).

Apakah kalian pernah mendengar apa yang mereka katakan itu? Itu yang mereka nyatakan. Mereka berkata “Kami membolehkan orang-orang untuk membentuk hizb-hizb, berdasarkan pada firman Allah,

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia yang menyeru pada kebaikan dan melarang kejelekan serta beriman kepada Allah” (Ali Imran 110)

Ini adalah dalil yang mereka pakai, padahal seperti yang mereka katakan, bahwa kegiatan mereka seluruhnya hanya berkaitan dengan politik!!.

Maka kegiatan politik ini telah dijadikan sebagai aqidah bagi mereka, dan karena hal inilah mereka melakukan tawar menawar dengan mubtadi’ (dan juga musyrikin) seperti Syi’ah, mereka mengatakan bahwa bekerja sama dengan syi’ah adalah tidak apa-apa. Dan mereka melakukan hal tersebut dengan kuffar Yahudi.

Mereka mengatakan dalam majalahnya, Al Wa’ie, nomor 75 halaman 23, tahun 1993, bahwa tidak ada perbedaan antara madzhab Syafi’i dan Hanafi, dan mereka telah salah karena mendalilkan hal ini untuk menjelaskan yang berikutnya, begitu pula Ja’fari dan Zaidi.

Dan mereka berkata “dan inilah yang terjadi antara kalangan Sunni dengan Syi’i, yang sebenarnya ada orang-orang yang berada di belakang perpecahan ini (yang mempunyai maksud tertentu) dan kami harus memerangi orang-orang itu, sebab tidak ada perbedaan antara keduanya, dan siapa saja yang melakukan perbedaan itu maka akan kami lawan”.

Orang-orang Hizbut tahrir sebenarnya mengetahui apa yang dinyatakan oleh orang-orang syi’ah tentang ‘Aisyah dan para shahabat, mereka mendengarnya di Hyde Park (sebuah tempat di Inggris) dan tetap saja mereka katakan tidak ada perbedaan antara Sunni dan Syi’i.

Ketika Syi’ah mencaci maki para shahabat dan mengatakan bahwa para shahabat telah merubah Al Qur’an, mencaci maki istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ummul mukminin, tapi bagi Hizbut Tahrir ini adalah masalah kecil!! Kenapa bisa seperti itu? Karena berdasarkan pada hal yang paling penting bagi mereka, yaitu permasalahan khilafah.

Mencaci maki para shahabat, mencaci maki para istri Rasul, menuduh para shahabat telah merubah Al Qur’an adalah hal kecil dibandingkan dengan permasalahan yang “paling besar”, apakah itu? Masalah khilafah.

Itulah yang menyebabkan kenapa mereka mengatakan bahwa kitab yang terbaik adalah Al Hukumah Al Islamiyyah padahal didalamnya terdapat kekufuran dan pernyataan bahwa melawan Sunni adalah merupakan aqidah bagi Syi’i, karena aqidah syi’i itu cocok dengan aqidahnya mereka. Tapi Hizbut Tahrir tidak mau tahu tentang hal itu dan memilih untuk mengabaikannya.

Oleh karena itu, mereka (Hizbut Tahrir) dapat ditemukan di Qum, tempat dimana Khomeini hidup. Mereka mengira bahwa di sana dapat ditegakkan khilafah.

Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, mereka mengatakan bahwa Allah membolehkan umat Islam untuk mendirikan hizb-hizb, dengan berdalil dengan surat Ali Imran ayat 110.

Tapi lihat apa yang mereka katakan “Sesungguhnya amar ma’ruf nahi munkar tidak bisa dijalankan kecuali sebelumnya telah ditegakkan khilafah dan hukum-hukum Islam” (Manhaj Hizbut Tahrir Fit Taghyir halaman 21). Lalu andai amar ma’ruf nahi munkar itu tidak bisa dijadikan sebagai suatu cara, kanapa kalian masih menukil ayat itu?.

Dan Umar Bakri pun mengatakan hal yang sama pada Tafsirnya Surat Al Ma’idah 2/233. Mereka katakan bahwa kegiatan mereka total pada permasalahan politik.

Maka kita katakan pada mereka. Apakah Salafus Shalih tidak pernah mendengar ayat ini sebelumnya? Kalaupun mereka (Salafus Shalih) mendengar, apakah mereka mendirikan kelompok sendiri-sendiri? Apakah mereka memahami ayat itu seperti pemahamanmu? Tentu saja tidak, sebaliknya pemahamanmu ini bukanlah dalam rangka memahami ayat, tapi dalam rangka merusak ayat.

Kami pun mengetahui bahwa kelompok yang bergerak dalam permasalahan politik bukan hanya Hizbut Tahrir saja, tapi juga ada Ikhwanul Muslimin. Mereka juga mengatakan boleh untuk membuat kelompok-kelompok dan mereka pun menukil ayat yang sama.

Mereka adalah biang pembuat perpecahan umat. Mereka masing-masing membuat kelompok, lalu mereka pun berpecah belah dan akhirnya saling benci satu sama lainnya. Ini adalah suatu pemahaman yang menyelisihi Salaf.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata bahwa jika ada dua khalifah yang dibai’at, maka salah satunya harus dibunuh. Tapi mereka katakan bahwa hadits ini ahad. Siapakah yang memberitahumu bahwa para shahabat tidak menerima hadits ahad?

Kita telah menjelaskan pada mereka (Hizbut Tahrir) tentang salahnya pendapat ini selama bertahun-tahun. Maka berikanlah pada kami, ucapan-ucapan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, shahabat, tabi’in dan yang selainnya bahwa hadits ahad tidak bisa diambil dalam permasalahan aqidah? Mereka katakan bahwa haram mengambil hadits ahad dalam permasalahan aqidah tapi haram meninggalkan hadits ahad dalam permasalahan ahkam!! Apakah ini bukan suatu pertentangan?

Maka disini ada pertanyaan penting yang harus ditujukan pada mereka. Mereka sering mendengung-dengungkan ayat,

“Dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyeru yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka lah orang-orang yang beruntung” (Ali Imran 104)

Lalu bagaimana bisa ayat ditafsirkan dan hendaklah ada segolongan dari Hizbut Tahrir? Sekarang kita katakan, apakah umat ini ada sebelum lahirnya Taqiyuddin An Nabhani? Tentu saja, umat ini sudah ada sejak jaman Rasulullah i. Lalu kenapa kita perlu pada Taqiyuddin dan Hizbut Tahrir?

Apakah merupakan suatu kebaikan jika membolehkan membentuk partai-partai dalam Islam, di dalam umat ini sedangkan kalian melarangnya di dalam tubuh kalian (di dalam Hizbut Tahrir)?

Dan sungguh menakjubkan orang-orang ini, yang mereka sebenarnya mendakwahkan pada perpecahan. Mereka berteriak agar umat ini bersatu, tapi mereka sendiri terpecah-belah.

Mereka seharusnya tidak boleh melakukan hal ini. Jika kalian ingin agar umat ini bersatu, maka hal yang pertama yang harus kalian lakukan adalah pergi dan kutuklah hizb kalian (dan membubarkannya), lalu setelah itu barulah kalian berdakwah untuk bersatu.

Hal lainnya, adalah mereka selalu mendengung-dengungkan ayat di atas (Ali Imran 104), tapi apakah mereka terlihat, secara dhahir, melakukan amar ma’ruf nahi munkar? Tidak, mereka hanya melakukan hal itu untuk kepentingan diri-diri mereka dan kelompoknya saja.

Seseorang yang tidak mempunyai sesuatu maka tidak akan dapat memberikan apa pun. Jika aku tidak mempunyai uang maka tidak dapat memberikan uang. Jika mereka (Hizbut Tahrir) tidak mempunyai sunnah, maka sunnah apakah yang akan mereka berikan pada umat.

Menurut mereka, semua bagian dari dunia ini adalah darul kufr. Mereka katakan bahwa tidak ada lagi wilayah Islam saat ini, sebab semuanya adalah tempat kufr. Apakah benar mereka berkata seperti ini? apakah kalian setuju dengan mereka?

Aku telah membaca tulisan mereka dalam kitab-kitab mereka, mereka katakan “Tanah yang ditempati Muslimin sekarang adalah darul kufr, walaupun orang-orang yang menempatinya muslim” (Hizbut Tahrir, halaman 32 dan 103). Mereka tidak memasukkan Makkah dan Madinah sebagai wilayah muslim!

Apakah mereka katakan padamu kecuali Makkah dan Madinah? Aku akan memberikan pengalaman pribadiku, salah seorang dari mereka berkata padaku, “semua orang selain yang tinggal di Makkah dan Madinah adalah bukan muslim dan wilayah tempat tinggal mereka yang tinggali pun bukanlah Darul Islam (Ad Daulah Islamiyyah halaman 55, Mitsaqul Ummah halaman 14 dan 44, Manhaj Hizbut Tahrir halaman 10-11).

Dari semua sumber rujukan tersebut dikatakan bahwa semua tempat adalah darul kufr dan semua masyarakatnya adalah kufr. Ini berarti tidak ada muslimin!! Salah seorang dari saudara kita bertanya pada salah seorang pemimpin mereka, “apakah ada pada saat ini darul Islam?”, dia (pemimpin Hizbut Tahrir) berkata “Tidak Ada”, lalu saudara kita berkata:”Tapi aku ingin hijrah” dia berkata “ini tidaklah mungkin”. Lalu dimanakah kemudian darul hijrah itu? Apakah Makkah dan Madinah bukan tempat Islam? Lalu kenapa kalian (Hizbut Tahrir) pergi ke London?

Ada beberapa fatwa yang mereka berikan (Jawab wa sual, 24 rabi’ul awal 1390 dan juga 8 muharram 1390). Mereka menjelaskan bahwa laki-laki dibolehkan untuk mencium wanita non muslim. Dan aku bersumpah bahwa mereka menyetujui hal ini.

Salah seorang saudara kita yang baru masuk Islam diberikan penjelasan ini bahwa dia boleh mencium wanita non muslim. Mereka berkata bahwa boleh untuk melihat foto (gambar) wanita telanjang (b****l), mereka katakan “Toh ini hanyalah gambar”. Mereka katakan bahwa itu bukanlah wanita tapi hanyalah gambar.

Kemudian mereka berkata bahwa dibolehkan untuk menjabat tangan wanita lainnya, yaitu ketika melakukan bai’at, sebab tidak ada perbedaan antara wanita dan pria dalam hal ini (Al Khilafah halaman 32).

Hal yang ingin saya jelaskan sekarang adalah, aku telah melihat mereka dan datang ke tempatku. Dan mereka mengatakan tentang hadits dari ‘Aisyah. ‘Aisyah berkata “Tidak, Wallahi. Rasulullah i tidak pernah menyentuh tangan wanita (selain mahram)”.

Dan mereka katakan bahwa “Tidak, dia (‘Aisyah) telah salah”. Aku telah mendengarnya langusng dari Umar Bakri dan aku mempunyai rekamannya. Dia katakan bahwa ‘Aisyah telah salah, dia salah dalam menyatakan hal ini”. Maka manakah yang benar, apakah perkataan ‘Aisyah atau dia?

Apakah kamu hidup di jaman Rasulullah? Bagaimana mungkin kau bisa berkata seperti ini. Padahal hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari!!. Mereka membantah perkataan ‘Aisyah dengan perkataannya Ummu ‘Athiyah bahwa Rasulullah memanjangkan tangannya dari luar rumah dan para wanita memberikan padanya tangan-tangan mereka.

Tapi riwayat Ummu ‘Athiyah ini adalah mursal, yang berarti dha’if. Hal ini telah dijelaskan oleh An Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 1/30) dan juga Ibnu Hajar Al Asqalani (FatHul Bari 8/636). Beliau (Ibnu Hajar) mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh ‘Aisyah adalah merupakan hujjah (bantahan) terhadap apa-apa yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah mengenai Rasulullah memanjangkan tangannya untuk berjabat tangan dengan para wanita.

Apakah mereka (Hizbut Tahrir) tidaklah merasa cukup dengan hadits Rasulullah “Aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita”. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (1597), An Nasa’i (7/149), Ibnu Majah (2874). Tapi tetap saja hal ini tidak mencukupi mereka.

Apa yang akan aku katakan pada seorang wanita adalah sama dengan yang akan aku katakan pada ratusan wanita tentang bai’at ini.

Bahwa Rasulullah tidak membai’at wanita kecuali dengan ucapan (bukan berjabat tangan) (HR. Muttafaq ‘alaih), dan juga perkataan beliau “Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, maka itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tak halal baginya” (HR. Al Baihaqi, dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no.226).

Kendati pun demikian, mereka tetap menyatakan boleh untuk berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram!!

Maka aku katakan pada mereka, dengan menukil ucapan yang sering mereka dengung-dengungkan pada penguasa, “Berhukumlah dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah!”. Dan kami katakan pada mereka “(salah satu) Hukum Allah adalah tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahram, jika kalian tidak berhukum dengan hukum Allah, maka kalian tidak akan bisa menegakkan hukum Allah”.

Dan ini berarti bahwa kita harus bersikap tunduk, patuh dan ta’at pada hukum Allah, dan jika kitatidak mendasarkan diri pada hukum Allah, maka apa yang aka terjadi nantinya, bagaimana kita bisa mendakwahi orang lain, bagaimana kita bisa mencapai keunggulan dan kepemimpinan. Imam An Nawawi berkata “jika hal itu terlihat, maka haram untuk menyentuhnya” (Syarhul Minhaj 6/195)
Kaset pertama berhenti disini.

(Dikutip dari terjemahan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir, tulisan Syaikh ‘Abdurrahman Ad Dimasyqiyyah. Url asli www.salafipublications.com Article #GRV0300) Dikutip dari www.salafy.or.idm

Label:

Membongkar selubung HT 2

(Sambungan dari vol. I).. Mereka berkata bahwa khilafah itu harus segera didirikan minimal dalam 13 tahun atau 25 tahun. Jika tidak mampu dalam waktu tersebut maka akan gagal. Padahal telah ada contoh pasti yang dilakukan oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan hal ini dapat diketahui dari tingkah laku mereka dalam melaksanakan sunnah. Ahlus Sunnah tidaklah berkata (mengenai dakwah kepada Tauhid, dakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah), “Ini bukanlah saatnya untuk melakukan dakwah kepada hal tersebut sekarang”. Janganlah kita lupa tentang dakwah kepada Tauhid, sebab dengan hal inilah (tauhid) kita diciptakan, kita diciptakan untuk mentauhidkan Allah.

Mereka telah membuat kesalahan besar. Mereka mengatakan bahwa khilafah Islamiyyah itu runtuh pada tahun 1924, di abad ini. Ini adalah kekeliruan. Sebab Khilafah Islamiyyah itu telah runtuh sejak berabad-abad yang lalu. Sedangkan tahta ‘Utsmani bukanlah Khilafah. Mereka (para penguasanya) sendiri meyatakan bahwa diri mereka adalah raja, Sulthan (seperti Sulthan Abdul Hamid, Sulthan ‘Abdul Majid). Ini bukanlah Khilafah Islamiyyah, ini adalah kerajaan biasa.

Kamu tidak akan melihat adanya jejak-jejak Sunnah pada mereka, walaupun kau bertanya pada mereka “kenapa kami tidak melihat sunnah atas kalian?”. Kebanyakan dari mereka mencukur habis jenggotnya. Mereka berkata “Hal terpenting sekarang adalah usaha untuk menegakkan kembali khilafah, sedangkan memanjang jenggot adalah perkara qusyur (kulit) yang dapat kita buang”. Mereka menganggap bahwa amalan-amalan Sunnah itu seperti kulit yang dapat kita buang. Lalu Sunnah apakah yang akan mereka dakwahkan pada kaum Muslimin?

Mereka menjelaskan tentang nash (Al Qur’an dan Al hadits) dan mereka pun membuat syubhat atas hal tersebut. Mereka mengatakan, “ini nash yang qath’iy”, “ini maknanya qath’iy” dan lain-lain. Walhasil, mereka membuat bingung umat ini dengan penjelasan semacam itu. Mereka berbicara dengan banyak teori, teori politik. Mereka menghafal banyak teori-teori itu, tapi mereka tidak menghafal walaupun hanya 10 hadits atau beberapa ayat dari Al Qur’an. Malah mereka membuat syubhat terhadap nash.

Salah seorang dari mereka berkata “setiap nash yang ada dalam Al Qur’an dan Al Hadits, maka tidaklah para ulama itu kecuali saling ber-ikhtilaf dalam memahaminya”. Apakah kalian pernah mendengar perkataannya ini? Ya, pada setiap nash. Dan aku (Syaikh Abdurrahman) mendengar sendiri perkataan ini dikatakan oleh pemimpin-pemimpin mereka, dan Umar Bakri adalah merupakan salah satunya. Kemudian, aku telah mendengar rekaman dialog mereka dengan Syaikh Al Albani (rahimahullah) berjudul Munaqasyah Afraqul Mu’tazilah. Salah seorang dari mereka mengatakan pada Syaikh perkataan di atas. Lalu apakah yang dikatakan oleh Syaikh Al Albani pada mereka? Syaikh berkata “apakah firman Allah itu mengandung keragu-raguan?”, maka ketika mereka mendengar ucapan syaikh, serta merta mereka pun merubah topik pembicaraan.

Kebiasaan tergesa-gesa pada kelompok ini akan menyebabkan mereka mati dengan cepat, mereka tidak mempunyai kesabaran dan kebijaksanaan. Mereka tidak memikirkan bagaimana tahapan dakwah Rasulullah i mulai dari awal sampai akhir. Mereka mengamil tahap akhir sebagai tahap awal. Apa yang akan terjadi bila kalian meminta tahap akhir menjadi di awal? Apa yang akan terjadi? Kalian akan habis.

Mereka mengadakan perjanjian dan bekerja sama dengan siapa saja, yang sebenarnya ada diantaranya tidak boleh untuk bekerja sama dengannya, seperti Syi’ah dan lain-lain. Seharusnya mereka memulai dakwahnya dengan hal pertama dan terpenting (yaitu At Tauhid), maka hal ini lebih arif daripada arif tapi dalam mengadakan perjanjian-perjanjian dengan golongan-golongan yang Allah benci.

Dan qadarullah, hizb ini datang ke Inggris (dan ke negara lainnya di dunia) dan menyebarkan banyak fitnah ketika mereka mengenalkan Islam pada penduduk di sini. Mereka menyebarkan fitnah-fitnah itu di universitas-universitas, dan lain-lain. Maka apa hasil yang didapat dari perbuatan mereka itu? hasilnya adalah membuka peluang bagi orang-orang kafir untuk menutup masjid, membubarkan halaqah ilmu dan lain-lain. Lalu apa yang menjadi tuntutan dari hizb ini? mereka tidaklah menuntut akan doktrin-doktrin aqidah dalam dakwahnya.

Mereka menafsirkan Al Qur’an dengan disesuaikan nafsunya, mereka berkata “Dan tidaklah Allah menciptakan manusia dan jin kecuali…..untuk menegakkan khilafah dan menegakkan hukum-hukum Islam” dan “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai mereka…..menegakkan khilafah”. Seolah-olah Allah lah yang berfirman seperti yang dikatakan oleh mereka itu. Padahal, Li ya’budun (untuk beribadah pada-Ku), dengan kalimat inilah kami ingin mendakwahi (kepada tauhid) orang-orang kafir sebelum terlambat.

Jika ada orang kafir datang kepada mereka, untuk meminta penjelasan tentang Islam. Apakah yang akan mereka lakukan? Apakah mengambil tangannya dan mendakwahinya atau meninggalkannya? Bagi mereka maka lebih baik meninggalkan orang kafir tersebut. Padahal bila datang orang-orang kafir kepada Rasulullah i, maka beliau i akan mengambil tangannya dan mendakwahinya sampai dia menjadi muslim walaupun satu orang saja. Sebab hal ini akan menyelamatkan dia dari api neraka dan memasukkannya ke dalam surga. Tapi dakwahnya mereka, Hizbut Tahrir, adalah menunda dakwah kepada Tauhid sampai khilafah tegak.

Satu bukti yang sangat jelas mengenai “kebenaran” dari sikap mereka yang tidak memperdulikan akan aqidah, adalah mereka bersegera pergi ke Iran (ketika terjadi revolusi Iran) dan mereka pun mengusulkan siapa yang akan menjadi khalifah disana. Tahukah kamu siapa yang mereka usulkan? Dia adalah Khomeini, mereka meminta Khomeini menjadi khalifah. Dan hal ini mereka nyatakan dalam surat kabar mereka, Al Khilafah no.18, jum’at, 2 januari 1410 H (1989 M).

Dalam surat kabar ini, kami menemukan sebuah artikel berjudul “Hizbut Tahrir wal ‘Imam’ Khomeini”. Dalam artikel itu mereka berkata “Kami pergi ke Iran dan mengusulkan agar Khomeini menjadi khalifah umat ini”. Jadi dengan umat manakah yang mereka inginkan agar kita, kaum muslimin, bekerja sama dan bila tidak bekerja sama maka dihukumi musyrik? Lalu siapakah khalifahnya? Dia adalah Khomeini.

Dalam majalah mereka, Al Wa’ie, mereka mengatakan bahwa karangan yang berkenaan dengan politik terbesar (terbaik) yang pernah ditulis adalah Al Hukumah Al Islamiyyah, yang ditulis oleh Khomeini. Menurut mereka, ini adalah karya terbesarnya khomeini, sebab dalam karangannya itu dia menyerukan kepada syari’at dan menetapkan syari’at (menurut versinya) itu, dan dia mengatakan bahwa tidak ada timur tidak ada barat, tidak ada sunni tidak ada syi’i, yang ada adalah Islam. Dia membagi Islam menjadi dua dekade (?), dan memberikan harapan akan hal tersebut kepada kaum muslimin yang berada dalam keputus-asaan. Mereka (Hizbut Tahrir) berkata “bukan berarti Khomeini itu tidak mempunyai kesalahan, tapi sekarang ini bukanlah waktunya untuk membahas hal itu, tapi pergunakanlah waktu itu untuk hal lain”. Apakah yang lain itu? Yaitu untuk menghantamkan kepala-kepala kaum muslimin dan mendakwahi mereka pada kemusyrikan.

Mereka mengakui dan berkata “kami telah pergi menemui Khomeini dan menyerukan padanya agar menjadi khalifah dan khomeini pun mengatakan bahwa dia akan memberikan jawabannya pada kita, apakah dia bersedia atau tidak” Lalu mereka berkata lagi “kami telah menunggu untuk jawabannya itu, tetapi kami tidak mendapatkannya (dia tidak memberikan jawaban)”. Dan karena inilah mereka mengkritik penguasa Iran itu. Mereka menyerukan agar Khomeini menjalankan khilafah berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah. Apakah Khomeini menerima Al Qur’an dan As Sunnah? Apakah orang-orang ini sedang bercanda? Kenapa mereka tidak minta saja pada Clinton dan menyuruhnya untuk melakukan hal yang sama!.

Mereka memuji kitabnya, Al Hukumah Al Islamiyyah, padahal didalamnya dia mencaci Abu Bakar, Umar, Mu’awiyah dan lainnya. Dia mencaci ipar laki-lakinya Rasulullah i. Kenapa hal ini tidak dipermasalahkan oleh mereka (Hizbut Tahrir)? Dia juga mengatakan bahwa “imam-imam” kami berada pada tingkatan tertinggi, yang tidak ada nabi ataupun malaikat yang dapat mencapainya (Al Hukumah Al Islamiyyah, halaman 52). Bagaimana bisa dia berkata seperti itu? Bagaimana mungkin imam-imamnya itu lebih baik daripada semua nabi dan malaikat? Tapi hal itu bukanlah sesuatu yang hal yang dipermasalahkan bai Hizbut Tahrir.

Hizbut tahrir dalam kegiatan dakwahnya tidaklah menyinggung permasalahan-permasalahan yang dapat membuat “jatuhnya” umat, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Padahal sebenarnya apa yang mereka lakukan itu adalah melawan hukum Allah. Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai kaum itu merubahnya (Ar Ra’d 11).

Mereka ingin merubah keadaan tapi tidak ingin umat ini berubah.

Mereka tidak akan mengatakan kepada umat apa yang menyebabkan umat ini menjadi jatuh dan lemah. Mereka tidak akan berkata “Kami atau kita umat Islam jatuh karena ketidakpatuhanmu pada Allah”, “Kamu sudah tidak tunduk lagi pada Allah”, “Kamu tidak lagi menggambarkan nama yang kamu sandang dibahumu”, “Kamulah yang menyebabkan jatuhnya umat ini”, “Ini semua karena dosa-dosamu” dan perkataan lainnya.

Mereka tidak mengatakan hal itu, tapi mereka akan mengatakan pada umat bahwa jatuhnya umat ini karena onspirasi musuh. Mereka tidak memfokuskan dakwah mereka untuk memperbaiki apa-apa yang telah dilanggar oleh umat, padahal inilah yang selalu menjadi musuh yang sebenarnya. Dan kami pernah bertanya pada mereka, “Allah telah menjanjikan kepada kita, umat Islam, kejayaan dan kemenangan. Lalu kenapa setelah Dia memberikan hal itu kemudian menghancurkan kita? Mereka tidak akan menjawabnya.

Mereka ingin agar kita meloncati tahapan awal dalam dakwah, yaitu tarbiyah dan memulainya dengan khilafah sebagai tahapan yang paling awal. Tapi mereka tidak akan berhasil, mereka akan gagal. Sebab tahapan awal dalam berdakwah yang dilakukan oleh para shahabat adalah tarbiyah, sebab membawa nama Islam di pundak kita membutuhkan kesabaran dan lain-lain. Tapi hal yang dekat untuk dilakukan oleh mereka hanyalah untuk menegakkan khilafah dan tidak berbicara tentang selainnya, seperti membicarakan dosa dan lain-lain. Padahal Allah berfirman,

“Jika kalian bersabar dan bertaqwa, maka yang demikian itu sungguh merupakan hal yang patut diutamakan” (Ali Imran 186)

Jika kamu bersabar dan takut pada Allah, maka makar musuh tidaklah akan membuatmu merugi!!! Maka apakah kita akan merugi, apa yang akan terjadi pada janji Allah kemudian bila kita bersabar dan bertaqwa pada Allah? Ini adalah janji Allah, maka apa yang akan terjadi kemudian? Dan Allah berfirman,

“Sembahlah Aku dan janganlah kamu mempersekutukan Aku dengan apapun” (An Nur 55)

Ada dua syarat disini, yaitu sabar dan takut serta tidak menyekutukan Allah, jika kita berpegang pada dua hal ini maka kita tidak akan merugi.

Tapi mereka (Hizbut Tahrir) membolehkan seorang yang musyrik, yaitu Khomeini, menjadi khalifah!!! Seseorang yang berkata “Ya Ali…dan lain-lainnya yang mengandung kesyirikan. Benarkah orang-orang ini hanya menyembah pada Allah saja? Tapi hal-hal ini bukanlah sesuatunyang harus dipermasalahkan bagi mereka, sebab yang paling penting bagi mereka adalah khilafah. Kalian tidaklah menerapkan tauhid dalam dakwahmu, setiap kesyirikan adalah bukanlah masalah bagim,u, khilafah yang penting penting. Masing-masing dari mereka tidak faham akan syari’ah atau mereka mengabaikan hukum Allah. Seharusnya kita mempelajari bagaimana cara mengahadapkan hati-hati kita kepada Pencipta kita.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata “Ya Allah, jauhkanlah aku dari setiap bala’ yang timbul akibat dosa-dosa”. Dan tidaklah hal ini dapat dicapai kecuali dengan At Taubat. Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas menunjukkan adanya hukum Allah, tapi “hukum” Hizbut Tahrir tidaklah menunjukkan adanya hukum Allah.

Mereka tidak keberatan untuk berbicara tentang permasalahan imperialisme. Ya, Amerika adalah syaithan terbesar di dunia. Kita tidak berpendapat tidak boleh mengatakan hal itu, tapi kita katakan “berhentilah memakai hal-hal yang berbau emosional itu dalam berdakwah dan mulailah untuk mengajari umat ini dengan apa yang harus pertama kali mereka ketahui, yaitu At Tauhid”.

Tapi jika Amerika itu adalah syaithan terbesar, seperti katamu, lalu kenapa kalian mengatakan bahwa kita dibolehkan untuk meminta bantuan pada syaithan-syaithan itu? Kenapa kalian katakan bahwa meminta bantuan kepada kuffar itu adalah salah satu dari prinsip “kita”? Kalian meminta bantuan kepada kuffar untuk melakukan apa? Untuk menegakkan khilafah, apakah syaithan itu akan membantu kalian untuk menegakkan khilafah? Kalian adalah satu-satunya yang berkata bahwa seseorang dibolehkan untuk melakukan perjanjian damai dengan syaithan-syaithan itu (itu yang pertama) dan yang lainnya, adalah kamu katakan bahwa kalian berlepas diri dari hal itu. Lalu kenapa kalian katakan “pertama, salah satu prinsip kami adalah mencari dukungan kepada kuffar agar mereka memberikan bantuan kepada kita dalam menegakkan khilafah? Maka pada tahun 1978, mereka meminta kepada Qaddafi agar membantunya dalam menegakkan khilafah.

Kemenangan yang mendukung umat ini berbeda dengan kemenangan yang diraih oleh berbagai macam negara. Perancis memukul mundur jerman, Jerman memukul mundur Inggris, mereka mempunyai sistem sendiri-sendiri. Tapi kita mempunyai hukum Allah. Kemenangan dalam Islam itu berhubungan dengan ketundukan, ketaatan, berserah diri kepada Allah dan inilah unsur-unsur sebenarnya dari kemenangan. Kemenangan inilah yang dijanjikan oleh Allah, Allah tidak akan mengingkari janji-Nya, tapi janji-Nya itu mempunyai syarat-syarat.

Tidak seperti yang ada di orang-orang ini. Sebagian dari mereka ada yang menunjukkan pahanya (memperlihatkan auratnya) dan yang lainnya ada yang tidak sholat. Mereka berkata “Ini bukanlah masalah, selama dia berkata La Ilaha Ilallah”, mereka berkata “Baik, kita katakan pada mereka, kau bersama kami, walaupun kau tidak shalat”. Dan kami mengetahui beberapa dari anggota Hizbut Tahrir di Yordania dan negara lainnya, mereka tidak sholat. Tapi mereka katakan bahwa hal itu tidak apa-apa selama orang-orang itu berteriak untuk menegakkan khilafah. Maka tidak apa-apa kami (Hizbut Tahrir) bekerja sama dengan mereka. Dan mereka menyatakan bahwa diri-diri mereka adalah yang paling mengetahui tentang permasalahan politik. Salah satu bukti dari pekerjaan dan pengetahuan mereka dalam masalah politik adalah mereka berteriak kepada Saddam Husain (seorang komunis, yang telah membunuh ribuan muslim dan melakukan kekejaman pada muslim), mereka berkata tentangnya “Subhanallah, dia berjuang melawan syaithan terbesar, yaitu Amerika, maka kami bersamanya” dan kesesatan-kesesatan lainnya.

Sekarang kita akan membahas beberapa fatwa mereka. Tentang Al Qadha wal Qadar, mereka katakan bahwa kedua hal itu tidak dijelaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah (Ad Dusiyah halaman 1).
Bersambung ke Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (III)

(Dikutip dari terjemahan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir, tulisan Syaikh ‘Abdurrahman Ad Dimasyqiyyah. Url asli www.salafipublications.com Article #GRV0300) Dikutip dari www.darussalaf.or.id

Label:

Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah

Pembahasan ini ada kaitannya dengan tanda-tanda hari kiamat. Hal ini karena tanda-tanda itu banyak diterangkan dalam hadits ahad[1]. Dan sebagian ulama dari kalangan ulama theologia[2]. Demikian pula dengan sebagian ulama ushul[3], yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam akidah tetapi harus berdasarkan dalil yang qath’i yaitu ayat atau hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Pendapat ini ditolak, karena hadits yang perawinya terpecaya dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir.
Inilah madzhab para ulama Salafus Shalih berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Dan tidak patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab : 36)

Dan firman-Nya :
“Taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Ali Imran : 32)

Ibnu Hajar berkata : “Sungguh sudah terkenal perbuatan shahabat dan tabi’in dengan dasar hadits ahad dan tanpa penolakan. Maka telah sepakat mereka untuk menerima hadits ahad[4].”

Ibnu Abil ‘Izzi berkata : “Hadits ahad, jika para ummat menerima sebagai dasar amal dan membenarkannya, maka dapat memberikan ilmu yakin (kepastian) menurut jumhur ulama. Dan hadits ahad termasuk bagian hadits mutawatir, sedangkan bagi kalangan ulama Salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini[5].”

Ada orang bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menetapkan demikian dan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah : “Bagaimana menurutmu?” Maka Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at, kamu melihat saya diikat? Saya berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menetapkan, dan kamu bertanya, ‘bagaimana pendapatmu?’ ”[6]
Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah menjawab : “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang[7].” Imam Syafi’i rahimahullah tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, hadits tentang akidah atau amaliyah. Namun yang dibicarakannya hanya berkisar tentang shahih atau tidaknya suatu hadits.

Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Semua yang datang dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan sanad baik, maka kita tetapkan dan bila tidak tetap (tidak sah) dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan kita tidak menerimanya maka kita kembalikan urusan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.”

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al Hasyr : 7)

Dengan demikian Imam Syafi’i rahimahullah tidak mensyaratkan kecuali keshahihan hadits[8]. Ibnu Taimiyah berkata : “Hadits, apabila sudah shahih semua umat Islam sepakat wajib untuk mengikutinya[9].”

Dan Ibnu Qayyim berkata saat menolak orang yang mengingkari hujjah hadits ahad : “Termasuk hal ini ialah pemberitahuan sebagian shahabat kepada sebagian yang lain, karena berpegang teguh pada apa yang diberitakan oleh salah seorang dari mereka dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata kepada seorang yang menyampaikan berita dari Rasululullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beritamu adalah berita perorangan (khabar ahad) yang tidak memberi faedah ilmu sehingga mutawatir.

Dan jika salah satu di antara mereka meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada orang lain tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala maka mereka menerimanya. Dan sifat itu diyakini dengan pasti, sebagaimana meyakini melihat Rabb, firman-Nya, dan panggilan-Nya kepada hamba-Nya pada hari kiamat dengan suara yang dapat didengar dari tempat yang jauh, serta turun-Nya ke langit dunia setiap malam dan menguasai langit serta Maha Kekal. Barangsiapa mendengar hadits ini dari orang yang menceritakannya dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam atau shahabat, maka dia harus yakin atas ketetapan maksud dari hadits seorang yang adil dan benar. Dan hadits itu tidak diterbitkan, sehingga mereka menetapkan sebagaimana hadits hukum … . Mereka tidak menuntut kejelasan dalam meriwayatkan hadits tentang sifat secara pasti, tetapi mereka langsung menerima, membenarkan, dan menetapkan maksud dari hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Adapun yang menolak hadits ahad itu ialah pendapatnya Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidlah, dan Khawarij yang telah merusak kehormatan. Para Imam telah menjelaskan perbedaan pandangan mereka dari pendapat yang mengatakan bahwasanya hadits ahad memberikan faedah ilmu. Demikian pendapat Imam Malik rahimahullah, Imam Syafi’i rahimahullah, dan murid-murid Abu Hanifah rahimahumullah, Dawud bin Ali dan muridnya seperti Muhammad bin Hazm rahimahumullah[10].

Adapun yang mengingkari hujjah hadits ahad karena kesamaran[11] bahwa hadits ahad mengandung dzan dan mereka maksudkan dengan dzan adalah dugaan yang lebih kuat, karena kemungkinan terjadinya kesalahan seseorang atau kelalaiannya, dan persangkaan yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah akidah.
Alasannya dengan sebagian ayat yang melarang mengikuti persangkaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm : 28)

Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima. Karena dzan (persangkaan) di sini bukan persangkaan yang bisa kita lakukan. Akan tetapi (persangkaan) yang berupa keraguan, dusta, dan kira-kira. Dalam kitab An Nihayah, Al Lisan, dan lainnya dari kitab kamus bahasa, dzan adalah keraguan[12].

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ((Wa maa lahum bihi min ‘ilm)) maksudnya mereka tidak mempunyai pengetahuan yang benar yang membenarkan ucapan mereka, bahkan hal itu merupakan dusta dan mengada-ada serta kufur yang sangat keji. Dan mengenai ayat ((wa inna adz dzanna laa yughnii mina al haqqi syai’an)) maksudnya tidak dapat menempati (menggantikan) kebenaran. Dalam hadits shahih Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Hati-hatilah terhadap persangkaan (yang buruk) karena persangkaan buruk itu sedusta-dusta pembicaraan[13].”

Keraguan dan dusta adalah perbuatan yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, hal itu dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al An’am : 116)

Allah Subhanahu wa Ta'ala mensifati mereka dengan persangkaan yang merupakan sikap yang mengada-ada dan dusta. Dan jika kebohongan dan dusta itu yang menjadi dzan, maka dalam masalah hukum tidak boleh dipakai[14]. Karena hukum tidak didirikan atas keraguan dan mengada-ada.

Adapun kelalaian seorang rawi, maka hadits ahad yang diriwayatkannya harus ditolak, sebab rawi harus terpecaya dan tsabit, maka hadits yang shahih itu tidak boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan yang berlaku, bahwa rawi
terpecaya yang tidak lupa dan tidak dusta tidak boleh ditolak haditsnya.

Dalil-Dalil Kehujjahan Hadits Ahad

Dan bila sudah jelas kepalsuan argumentasi yang menolak kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah, maka dalil yang mewajibkan menerimanya banyak sekali, baik dari Al Qur’an maupun hadits, yaitu :

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah : 122)
Ayat ini memerintahkan umat untuk belajar agama. Dan kata “golongan” (thaifah) tersebut dapat digunakan untuk seorang atau beberapa orang.

Imam Bukhari berkata : “Satu orang manusia dapat dikatakan golongan.” Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al Hujurat : 9)

Maka jika ada dua orang berperang, orang tersebut masuk dalam arti ayat di atas[15]. Jika perkataan seseorang yang berkaitan dengan masalah agama dan dapat diterima, maka ini sebagai dalil bahwa berita yang disampaikannya itu dapat dijadikan hujjah. Dan belajar agama itu meliputi akidah dan hukum, bahkan belajar akidah itu lebih penting daripada belajar hukum[16].

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al Hujurat : 6)
Dalam sebagian qira’ah, ((Fatasyabbatu : Berhati-hatilah))[17]. Ini menunjukkan atas kepastian dalam menerima hadits seorang yang terpecaya. Dan itu tidak membutuhkan kehati-hatian karena dia tidak terlibat kefasikan-kefasikan meskipun yang diceritakan itu tidak memberikan pengetahuan yang perlu untuk diteliti sehingga mencapai derajat ilmu[18].

3. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya).” (QS. An Nisa’ : 59)
Ibnul Qayyim berkata : “Ummat Islam sepakat bahwa mengembalikan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah ketika beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bila hadits mutawatir dan ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu tidak perlu[19].”

Adapun dalil-dalil dari hadits itu banyak sekali, antara lain :

a) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus delegasi dengan hanya satu orang utusan kepada para Raja satu persatu. Begitu juga para penguasa negara. Manusia kembali kepada mereka dalam segala hal, baik hukum maupun keyakinan. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus Abu Ubaidah Amir bin Al Jarrah radhiallahu 'anhu ke negara Najran[20], Muadz bin Jabbal radhiallahu 'anhu ke negara Yaman[21]. Dihyah Al Kalbi radhiallahu 'anhu dengan membawa surat kepada pembesar Bashrah[22] dan lain-lain.

b) Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Ketika manusia ada di Quba’ menjalankan shalat Shubuh ada orang yang datang kepada mereka, dia berkata sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Al Qur’an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap Ka’bah, maka mereka menghadap Ka’bah dan wajah mereka sebelumnya menghadap Syam, kemudian beralih ke Ka’bah[23].” Dan tidak dikatakan bahwa ini hukum amali karena perbuatan hukum ini berdasarkan atas keyakinan keshahihan hadits.

c) Dan dari Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Ada seorang shahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.[24]”

Maka inilah peristiwa yang dilakukan shahabat, yang memperlihatkan kepada kita bahwa satu orang dari kalangan shahabat sudah cukup untuk menerima hadits yang disampaikan oleh satu orang dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan maupun perbuatan.

d) Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar hadits dari kami, yang dia hafalkan kemudian disampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan itu lebih memadai daripada orang yang mendengar.[25]”

Dan ini tidak terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah, tetapi bersifat umum, meliputi hadits amaliyah, hukum, dan i’tiqad. Apabila masalah-masalah akidah yang ditetapkan dengan hadits-hadits ahad itu tidak wajib diimani, tentu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam masalah ini tidak menyampaikan haditsnya secara mutlak, tetapi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menerangkan masalah itu terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah saja tidak lainnya.

Dan pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak bisa dijadikan dasar dalam hal akidah, itu merupakan pendapat bid’ah dan mengada-ada yang tidak ada dasarnya dalam agama. Dan ulama Salafus Shalih tidak pernah ada yang mengatakan demikian, bahkan hal itu tidak pernah terlintas pada mereka. Andaikata kata dalil Qath’iy yang menunjukkan bahwa hadits ahad itu tidak layak untuk masalah akidah, niscaya sudah dimengerti dan sudah dijelaskan shahabat dan ulama Salaf. Kemudian pendapat bid’ah tersebut berarti menolak beratus-ratus hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Maka orang yang tidak mengambil hadits ahad dalam masalah akidah, niscaya mereka menolak beberapa hadits ahad tentang akidah lainnya, seperti tentang :

1. Keistimewaan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melebihi semua Nabi ‘Alaihimus Salam.

2. Syafaatnya yang besar di akhirat.

3. Syafaatnya terhadap umatnya yang melakukan dosa besar.

4. Semua Mu’jizat selain Al Qur’an.

5. Proses permulaan makhluk, sifat Malaikat dan Jin, sifat Neraka dan Surga yang tidak diterangkan dalam Al Qur’an.

6. Pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur.

7. Himpitan kubur terhadap mayit.

8. Jembatan, telaga, dan timbangan amal.

9. Keimanan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menetapkan kepada semua manusia akan keselamatannya, sengsaranya, rizkinya, dan matinya ketika masih dalam kandungan ibunya.

10. Keistimewaan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang dikumpulkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al Khasha’is Al Kubra, seperti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam masuk ke Surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta hal-hal yang disediakan untuk orang yang bertakwa.

11. Berita kepastian bahwa sepuluh shahabat dijamin masuk Surga.

12. Bagi orang yang melakukan dosa besar tidak kekal selama-lamanya dalam neraka.

13. Percaya kepada hadits shahih tentang sifat Hari Kiamat dan Padang Mahsyar yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an.

14. Percaya terhadap semua tanda kiamat, seperti keluarnya Imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa ‘Alaihis Salam, keluarnya api, munculnya matahari dari barat, dan binatang-binatang, dan lain-lain. Kemudian semua dalil akidah, menurut mereka tidak sah dengan hadits ahad. Dalil-dalil akidah itu bukan dengan hadits ahad, tetapi dalilnya harus dengan hadits mutawatir. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu orang yang mengingkari kehujjahan hadits ahad itu maka mereka menolak semua akidah yang berdasarkan hadits shahih[26].

Tambahan

Disebutkan dalam kitab Maqaayiisu Naqdu Mutuuni As Sunnah : “Wajib bagi siapa saja yang mendengar khabar ahad yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam untuk mengikuti, mengamalkan, dan tidak boleh menyelisihinya, walaupun manusia itu tidak mesti kebenarannya dan tidak terlepas dari keraguan dan kesalahan.”
Makna hadits ahad itu bisa mendatangkan ilmu dengan mengikutinya atau sebagaimana yang diibaratkan oleh para ulama ahli fiqih : (Mengamalkan) Zhanni Al Ghalib (dugaan terkuat/paling umum) itulah yang dimaksud. Karena hukum-hukum syariat itu pasti mempunyai tujuan-tujuan. Termasuk kewajiban dan perintahnya adalah Ittiba’ (mengikuti). Maka bila hal itu (mengamalkan hadits ahad, pent.) telah dilakukan berarti kita telah menunaikan apa yang diinginkan (oleh syariat, pent.).

Meskipun para ulama ahli fiqih menyatakan bahwa (hadits ahad) tidak mendatangkan ilmu yang yakin (sebagaimana hadits mutawatir), akan tetapi mereka sepakat tentang wajibnya mengamalkan hadits ahad tersebut. (Maqaayiisu Naqdi Mutuuni As Sunnah, karya DR. Musyfir Gharamullah Ad Dumainiy, halaman 277).

===========================================================

* (Asyratus Sa’ah/Tanda-Tanda Hari Kiamat).

[1] Hadits dari segi datangnya kepada kita ada dua. Yaitu Mutawatir dan Ahad. Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh segolongan ulama banyak yang tidak mungkin mereka berdusta mulai dari awal sanad sampai akhir. Ahad yaitu hadits selain Mutawatir. Lihat Taqrib An Nawawy. Tadrib Al Rawi 2/176, Qawaid At Tahdits halaman 146 karya Qasimi, dan Tafsir Musthalah Al Hadits halaman 18-21, Dr. Mahmud Tahhan.

[2] Contohnya ulama Mu’tazilah dan ulama Mutaakhirin, seperti Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Syalabi, Abdul Karim Utsman, dan lain-lain. Lihat Al Farq Bainal Firaq halaman 180, editor Muhyidin Abdul Hamid, Fathul Bari 13/233, Qadhi Al Qudhah, Abdul Jabbar Al Hamdani, halaman 88/90 Dr. Abdul Karim Utsman, Risalah Tauhid halaman 202 M. Abduh editor M. Rasyid Ridha. Lihat sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah Nabi halaman 92-93 oleh Abi Lubabah Husein, Kitab Masihiyah, Perbandingan Agama halaman 44 oleh Dr. Ahmad Syalabi, lihat Fatawa, Mahmud Syaltut halaman 62 yang berkata : “Para ulama sepakat bahwa hadits ahad tidak memberikan faedah terhadap akidah dan tidak boleh dijadikan dasar dalam masalah ghaib”. Dan lihat kitabnya “Islam Akidah dan Syariat” halaman 53. Lihat “Al Masih dalam Al Qur’an, Taurat, dan Injil” 539 karya Abdul Karim Khatib.

[3] Lihat Syarah Al Kaukab Al Munir Fi Ushul Fiqh 2/352 karya M. bin Ahmad Al Hanbali editor Dr. Muhammad Suhaili dan Dr. Nazih Hamad.

[4] Lihat Fathul Bari 13/234.

[5] Lihat Syarah Aqidah Ath Thahawi karya Ali bin Ali bin Abi Izz Al Hanafi halaman 399-400 telah diedit oleh para ulama dan haditsnya telah ditakhrij oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani cetakan Maktab Islami, cetakan IV, 1391 H.

[6] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq Al Mursalah ala Al Jahmiyah wa Al Mu’aththilah 2/350, karya Ibnul Qayyim diringkas oleh Muhammad bin Al Masih, diedarkan oleh Lembaga Kajian Ilmiyah dan Fatwa Riyadh dan lihat Ar Risalah Imam Syafi’i halaman 401, tahqiq Ahmad Syakir terbitan Al Muhtar Al Islamiyyah cetakan II 1399 H, dan lihat Syarah Ath Thahawi halaman 399 karya Ibnu Abil Izz.

[7] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/350.

[8] Lihat Ittihaf Al Jamaah 1/4.

[9] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 19/85.

[10] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/361-362.

[11] Lihat Risalah Wajib Mengikuti Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah dan Menolak Orang Yang Menentangnya, halaman 6-7.

[12] Lihat An Nihayah 3/162-163.

[13] Lihat Shahih Muslim 16/118.

[14] Lihat Al Aqidah fii Allah, karya Umar Sulaiman Al Asyqar, cetakan II, 1969.

[15] Lihat Shahih Bukhari dan Fathul Bari 13/231.

[16] Lihat Al Aqidah fii Allah halaman 51.

[17] Lihat Tafsir Asy Syaukhani 5/60.

[18] Lihat Kewajiban Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 7, karya Syaikh Al Albani.

[19] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/352 karya Imam Ibnul Qayyim.

[20] Lihat Shahih Bukhari 13/232.

[21] Lihat Shahih Bukhari 3/261.

[22] Lihat Shahih Bukhari 13/241.

[23] Lihat Shahih Bukhari 13/232.

[24] Lihat Shahih Bukhari 13/232.

[25] Lihat Musnad Ahmad, 6/96, hadits nomor 4157 tahqiq Ahmad Syakir, Imam Ahmad meriwayatkan dengan dua sanad shahih, lihat tentang hadits : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar kata-kataku, baik secara riwayah maupun dirayah.” Halaman 33 dan seterusnya karya Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad Al ‘Abbad, cetakan Al Rasyid Madinah Al Munawarah, cetakan I, 1401 H.

[26] Lihat Risalah Wajib Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 36-39 dan kitab Aqidah halaman 54-55 karya Umar Asyqar.

Label:

Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir: Khilafah Islamiyyah

Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh



Ketika kaum muslimin, terkhusus para aktivisnya, telah menjauhi dan meninggalkan metode dan cara yang ditempuh oleh para nabi dan generasi Salaful Ummah di dalam mengatasi problematika umat dalam upaya mewujudkan Daulah Islamiyyah, tak pelak lagi mereka akan mengikuti ra`yu dan hawa nafsu. Karena tidak ada lagi setelah Al-Haq yang datang dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam serta Salaful Ummah, kecuali kesesatan. Sebagaimana firman Allah:
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
“Maka apakah setelah Al-Haq itu kecuali kesesatan?” (Yunus: 32)

Dengan cara yang mereka tempuh ini, justru mengantarkan umat ini kepada kehancuran dan perpecahan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutlah dia, dan janganlah kalian mengikuti As-Subul (jalan-jalan yang lain), karena jalan-jalan itu menyebabkan kalian tercerai berai dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah Ta’alaepadamu agar kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153)

Di antara cara-cara sesat yang mereka tempuh, antara lain:
1. Penyelesaian problem umat melalui jalur politik dengan ikut terjun langsung atau tidak langsung dalam panggung politik dengan berbagai macam alasan untuk membenarkan tindakan mereka.

Di antara mereka ada yang beralasan bahwa tidak mungkin Daulah Islamiyyah akan terwujud kecuali dengan cara merebut kekuasaan melalui jalur politik, yaitu dengan memperbanyak perolehan suara dukungan dan kursi jabatan dalam pemerintahan. Sehingga dengan banyaknya dukungan dan kursi di pemerintahan, syariat Islam bisa diterapkan. Walaupun dalam pelaksanaannya, mereka rela untuk mengadopsi dan menerapkan sistem politik Barat (kufur) yang bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan Islam.

Mereka sanggup untuk berdusta dengan menyebarkan isu-isu negatif terhadap lawan politiknya. Bila perlu, merekapun sanggup untuk mencampakkan prinsip-prisip Islam yang paling utama dalam rangka untuk memuluskan ambisi mereka, baik melalui acara ‘kontrak politik’ atau yang semisalnya.(1) Bahkan tidak jarang merekapun sanggup untuk berdusta atas nama Ulama Ahlus Sunnah dengan mencuplik fatwa-fatwa para ulama tersebut dan mengaplikasikannya tidak pada tempatnya. Cara ini lebih banyak dipraktekkan oleh kelompok Al-Ikhwanul Muslimun.

Sebagian kelompok lagi beralasan bahwa melalui politik ini akan bisa direalisasikan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa, yaitu dengan menekan dan memaksa mereka menerapkan hukum syariat Islam dan meninggalkan segala hukum selain hukum Islam.
Walaupun sepintas lalu mereka tampak ‘menghindarkan diri’ untuk terjun langsung ke panggung politik demokrasi seperti halnya kelompok pertama, namun ternyata mereka menerapkan cara-cara Khawarij di dalam melaksanakan aktivitas politiknya. Yaitu melalui berbagai macam orasi politik yang penuh dengan provokasi, atau dengan berbagai aksi demonstrasi dengan menggiring anak muda-mudi sebagaimana digiringnya gerombolan kambing oleh penggembalanya.

Kemudian mereka menamakan tindakan-tindakan tersebut sebagai tindakan kritik dan kontrol serta koreksi terhadap penguasa, atau terkadang mereka mengistilahkannya dengan amar ma’ruf nahi munkar. Yang ternyata tindakan mereka tersebut justru mendatangkan kehinaan bagi kaum muslimin serta ketidakstabilan bagi kehidupan umat Islam, baik sebagai pribadi muslim ataupun sebagai warga negara di banyak negeri. Dengan ini, semakin pupuslah harapan terwujudnya Daulah Islamiyyah. Cara ini lebih banyak dimainkan oleh kelompok Hizbut Tahrir.

Maka Ahlus Sunnah menyatakan kepada mereka, baik kelompok Al-Ikhwanul Muslimun ataupun Hizbut Tahrir serta semua pihak yang menempuh cara mereka, tunjukkan kepada umat ini satu saja Daulah Islamiyyah yang berhasil kalian wujudkan dengan cara yang kalian tempuh sepanjang sejarah kelompok kalian. Di Mesir kalian telah gagal total, bahkan harus ditebus dengan dieksekusinya tokoh-tokoh kalian di tiang gantungan atau ditembak mati, dan semakin suramnya nasib dakwah. Di Al-Jazair pun ternyata juga pupus bahkan berakhir dengan pertumpahan darah dan perpecahan.

Atau mungkin kalian akan menyebut Sudan, sebagai Daulah Islamiyyah yang berhasil kalian dirikan, dimana kalian berhasil dalam Pemilu di negeri tersebut. Namun apa yang terjadi setelah itu…? Wakil Presidennya adalah seorang Nashrani, lebih dari 10 orang menteri di kabinet adalah Nashrani. Atau mungkin kalian menganggap itu sebagai kesuksesan di panggung politik di negeri Sudan, ketika kalian berhasil ‘mengorbitkan’ salah satu pembesar kalian di negeri tersebut dan memegang salah satu tampuk kepemimpinan tertinggi di negeri itu, yaitu Hasan At-Turabi. Apakah orang seperti dia yang kalian banggakan, orang yang berakidah dan berpemikiran sesat?! Simak salah satu ucapan dia: “Aku ingin berkata bahwa dalam lingkup daulah yang satu dan perjanjian yang satu, boleh bagi seorang muslim – sebagaimana boleh pula bagi seorang Nashrani– untuk mengganti agamanya.”(2)

Kami pun mengatakan kepada kelompok Hizbut Tahrir dengan pernyataan yang sama. Bagaimana Allah akan memberikan keberhasilan kepada kalian sementara kalian menempuh cara-cara Khawarij yang telah dikecam keras oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam sekian banyak haditsnya?

Dimana prinsip dan dakwah kalian –wahai Hizbut Tahrir—dibanding manhaj yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam menyampaikan nasehat kepada penguasa, sebagaimana hadits beliau, dari shahabat ‘Iyadh bin Ghunm: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانِ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلاَّ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang hendak menasehati seorang penguasa, maka jangan dilakukan secara terang-terangan (di tempat umum atau terbuka dan yang semisalnya, pent). Namun hendaknya dia sampaikan kepadanya secara pribadi, jika ia (penguasa itu) menerima nasehat tersebut maka itulah yang diharapkan, namun jika tidak mau menerimanya maka berarti ia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Baihaqi. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani di dalam Zhilalul Jannah hadits no. 1096)

2. Jenis cara batil yang kedua adalah melalui tindakan atau gerakan kudeta/revolusi terhadap penguasa yang sah, dengan alasan mereka telah kafir karena tidak menerapkan hukum/syariat Islam dalam praktik kenegaraannya.

Kelompok pergerakan ini cenderung menamakan tindakan teror dan kudeta yang mereka lakukan dengan nama jihad, yang pada hakekatnya justru tindakan tersebut membuat kabur dan tercemarnya nama harum jihad itu sendiri. Mereka melakukan pengeboman di tempat-tempat umum sehingga tak pelak lagi warga sipil menjadi korban. Bahkan tak jarang di tengah-tengah mereka didapati sebagian umat Islam yang tidak bersalah dan tidak mengerti apa-apa. Cara-cara seperti ini lebih banyak diperankan oleh kelompok-kelompok radikal semacam Jamaah Islamiyyah, demikian juga Usamah bin Laden –salah satu tokoh Khawarij masa kini— dengan Al-Qaeda-nya beserta para pengikutnya dari kalangan pemuda yang tidak memiliki bekal ilmu syar’i dan cenderung melandasi sikapnya di atas emosi. Cara-cara yang mereka lakukan ini merupakan salah satu bentuk pengaruh pemikiran-pemikiran sesat dari tokoh-tokoh mereka, seperti:
a. Abul A’la Al-Maududi, di mana dia menyatakan: “…Mungkin telah jelas bagi anda semua dari tulisan-tulisan dan risalah-risalah kita bahwa tujuan kita yang paling tinggi yang kita perjuangkan adalah: MENGADAKAN GERAKAN PENGGULINGAN KEPEMIMPINAN. Dan yang saya maksudkan dengan itu adalah untuk membersihkan dunia ini dari kekotoran para pemimpin yang fasiq dan jahat. Dan dengan itu kita bisa menegakkan imamah yang baik dan terbimbing. Itulah usaha dan perjuangan yang bisa menyampaikan ke sana. Itu adalah cara yang lebih berhasil untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharapkan wajah-Nya yang mulia di dunia dan akhirat.” (Al-Ushusul Akhlaqiyyah lil Harakah Al-Islamiyyah, hal. 16)

Al-Maududi juga berkata: “Kalau seseorang ingin membersihkan bumi ini dan menukar kejahatan dengan kebaikan… tidak cukup bagi mereka hanya dengan berdakwah mengajak manusia kepada kebaikan dan mengagungkan ketakwaan kepada Allah serta menyuruh mereka untuk berakhlak mulia. Tapi mereka harus mengumpulkan beberapa unsur (kekuatan) manusia yang shalih sebanyak mungkin, kemudian dibentuk (sebagai suatu kekuatan) untuk merebut kepemimpinan dunia dari orang-orang yang kini sedang memegangnya dan mengadakan revolusi.” (Al-Ususul Akhlaqiyah lil Harakah Al-Islamiyyah, hal. 17-18)

b. Sayyid Quthb. Pernyataan Sayyid Quthb dalam beberapa karyanya yang mengarahkan dan menggiring umat ini untuk menyikap lingkungan dan masyarakat serta pemerintahan muslim sebagai lingkungan, masyarakat, dan pemerintahan yang kafir dan jahiliyah. Pemikiran ini berujung kepada tindakan kudeta dan penggulingan kekuasaan sebagai bentuk metode penyelesaian problema umat demi terwujudnya Khilafah Islamiyyah.

Metode berpikir seperti tersebut di atas disuarakan pula oleh tokoh-tokoh mereka yang lainnya seperti Sa’id Hawwa, Abdullah ‘Azzam, Salman Al-‘Audah, DR. Safar Al-Hawali, dan lain-lain.(3)

Buku-buku dan karya-karya mereka telah tersebar luas di negeri ini, yang cukup punya andil besar dalam menggiring para pemuda khususnya untuk berpemikiran radikal serta memilih cara-cara kekerasan untuk mengatasi problematika umat ini dan menggapai angan yang mereka canangkan. Maka wajib bagi semua pihak dari kalangan muslimin untuk berhati-hati dan tidak mengkonsumsi buku fitnah karya tokoh-tokoh Khawarij.

Demikian juga buku-buku kelompok Syi’ah Rafidhah yang juga syarat dengan berbagai provokasi kepada umat ini untuk melakukan berbagai aksi dan tindakan teror terhadap penguasa. Mudah-mudahan Allah Ta’ala memberikan taufiq-Nya kepada pemerintah kita agar mereka bisa mencegah peredaran buku-buku sesat dan menyesatkan tersebut di tengah-tengah umat, demi terwujudnya stabilitas keamanan umat Islam di negeri ini.

Khilafah Islamiyyah bukan Tujuan Utama Dakwah para Nabi
Dari penjelasan-penjelasan di atas jelas bagi kita, bahwa banyak dari kalangan aktivis pergerakan-pergerakan Islam yang menyatakan bahwa permasalahan Daulah Islamiyyah merupakan permasalahan yang penting, bahkan terpenting dalam masalah agama dan kehidupan.

Dari situ muncul beberapa pertanyaan besar yang harus diketahui jawabannya oleh setiap muslim, yaitu: Apakah penegakan Daulah Islamiyyah adalah fardhu ‘ain (kewajiban atas setiap pribadi muslim) yang harus dipusatkan atau dikosentrasikan pikiran, waktu, dan tenaga umat ini untuk mewujudkannya? Kemudian: Benarkah bahwa tujuan utama dakwah para nabi adalah penegakan Daulah Islamiyyah?

Maka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, mari kita simak penjelasan para ulama besar Islam berikut ini:

Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardi berkata di dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyah: “…Jika telah pasti tentang wajibnya (penegakan) Al-Imamah (kepemerintahan/kepemimpinan) maka tingkat kewajibannya adalah fardhu kifayah, seperti kewajiban jihad dan menuntut ilmu.” Sebelumnya beliau juga berkata: “Al-Imamah ditegakkan sebagai sarana untuk melanjutkan khilafatun nubuwwah dalam rangka menjaga agama dan pengaturan urusan dunia yang penegakannya adalah wajib secara ijma’, bagi pihak yang berwenang dalam urusan tersebut.” (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 5-6)

Imamul Haramain menyatakan bahwa permasalahan Al-Imamah merupakan jenis permasalahan furu’. (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 5-6)

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Maka anda melihat pernyataan mereka (para ulama) tentang permasalahan Al-Imamah bahwasanya ia tergolong permasalahan furu’, tidak lebih sebatas wasilah (sarana) yang berfungsi sebagai pelindung terhadap agama dan politik (di) dunia, yang dalil tentang kewajibannya masih diperselisihkan apakah dalil ‘aqli ataukah dalil syar’i…. Bagaimanapun, jenis permasalahan yang seperti ini kondisinya, yang masih diperselisihkan tentang posisi dalil yang mewajibkannya, bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa masalah Al-Imamah ini merupakan puncak tujuan agama yang paling hakiki?”

Demikian jawaban dari pertanyaan pertama. Adapun jawaban untuk pertanyaan kedua, mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Sesungguhnya pihak-pihak yang berpendapat bahwa permasalahan Al-Imamah merupakan satu tuntutan yang paling penting dalam hukum Islam dan merupakan permasalahan umat yang paling utama (mulia) adalah suatu kedustaan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun dari kalangan Syi’ah (itu sendiri). Bahkan pendapat tersebut terkategorikan sebagai suatu kekufuran, sebab masalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perma-salahan yang jauh lebih penting daripada perma-salahan Al-Imamah. Hal ini merupakan permasalahan yang diketahui secara pasti dalam dienul Islam.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)

Kemudian, beliau melanjutkan: “…Kalau (seandainya) demikian (yakni kalau seandainya Al-Imamah merupakan tujuan utama dakwah para nabi, pent), maka (mestinya) wajib atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk menjelaskan (hal ini) kepada umatnya sepeninggal beliau, sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada umat ini tentang permasalahan shalat, shaum (puasa), zakat, haji, dan telah menentukan perkara iman dan tauhid kepada Allah Ta’ala serta iman pada hari akhir. Dan suatu hal yang diketahui bahwa penjelasan tentang Al-Imamah di dalam Al Qur`an dan As Sunnah tidak seperti penjelasan tentang perkara-perkara ushul (prinsip) tersebut… Dan juga tentunya Diantara perkara yang diketahui bahwa suatu tuntutan terpenting dalam agama ini, maka penjelasannya di dalam Al Qur`an akan jauh lebih besar dibandingkan masalah-masalah lain. Demikian juga penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam terntang permasalahan (Al-Imamah) tersebut akan lebih diutamakan dibandingkan permasalahan-permasalahan lainnya. Sementara Al Qur`an dipenuhi dengan penyebutan (dalil-dalil) tentang tauhid kepada Allah Ta’ala, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tanda-tanda kebesaran-Nya, tentang (iman) kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir. Dan tentang kisah-kisah (umat terdahulu), tentang perintah dan larangan, hukum-hukum had dan warisan. Sangat berbeda sekali dengan permasalahan Al-Imamah. Bagaimana mungkin Al Qur`an akan dipenuhi dengan selain permasalahan-permasalahan yang penting dan mulia?” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)

Setelah kita membaca penjelasan ilmiah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas, lalu coba kita bandingkan dengan ucapan Al-Maududi, yang menyatakan bahwa:
1. Permasalahan Al-Imamah adalah inti permasalahan dalam kehidupan kemanusiaan dan merupakan pokok dasar dan paling mendasar.
2. Puncak tujuan agama yang paling hakiki adalah penegakan struktur Al-Imamah (kepemerintahan) yang shalihah dan rasyidah.
3. (Permasalahan Al-Imamah) adalah tujuan utama tugas para nabi.

Menanggapi hal itu, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata: “Sesungguhnya permasalahan yang terpenting adalah permasalahan yang dibawa oleh seluruh para nabi –alaihimush shalatu was salaam- yaitu permasalahan tauhid dan iman, sebagaimana telah Allah simpulkan dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ
“Dan sesungguhnya telah Kami utus pada tiap-tiap umat seorang rasul (dengan tugas menyeru) beribadahlah kalian kepada Allah (saja) dan jauhilah oleh kalian thagut.” (An-Nahl: 36)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Kami utus sebelummu seorang rasul-pun kecuali pasti kami wahyukan kepadanya: Sesungguhnya tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Aku, maka beribadahlah kalian semuanya (hanya) kepada-Ku.” (Al-Anbiya`: 25)

وَلَقَدْ أُوْحَي إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
“Sungguh telah kami wahyukan kepadamu dan kepada (para nabi) yang sebelummu (bahwa) jika engkau berbuat syirik niscaya akan batal seluruh amalanmu dan niscaya engkau akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)

Inilah permasalahan yang terpenting yang karenanya terjadi permusuhan antara para nabi dengan umat mereka, dan karenanya ditenggelamkan pihak-pihak yang telah ditenggelamkan… Dan sesungguhnya puncak tujuan agama yang paling hakiki dan tujuan penciptaan jin dan manusia, serta tujuan diutusnya para Rasul, dan diturunkannya kitab-kitab suci adalah peribadatan kepada Allah (tauhid), serta pemurnian agama hanya untuk-Nya. Sebagaimana firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُيْنِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

الر، كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍ. أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ اللهَ إِنَّنِي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ
“Aliif Laam Raa. (Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira kepadamu daripada-Nya.” (Hud: 1-2)

Demikian tulisan ini kami sajikan sebagai bentuk nasihat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Wallahu a’lam bish-shawab.

Footnote:
1. Untuk lebih jelasnya tentang berbagai sepak terjang mereka yang menyimpang dalam politik, pembaca bisa membaca kitab Madarikun Nazhar fi As-Siyasah karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani; dan kitab Tanwiiruzh Zhulumat bi Kasyfi Mafasidi wa Syubuhati Al-Intikhabaat oleh Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah Al-Imam.
2. Ucapan ini dinyatakan di Universitas Khurthum, seperti dinukil oleh Ahmad bin Malik dalam Ash-Sharimul Maslul fi Raddi ‘ala At-Turabi Syaatimir Rasul, hal 12.
3. Tiga tokoh terakhir ini yang banyak berpengaruh dan sangat dikagumi oleh seorang teroris muda berasal dari Indonesia, bernama Imam Samudra.



(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 17/1426 H/2005, judul asli “Cara-Cara Batil Menegakkan Daulah Islamiyah, karya Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=289, http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=980)

Label: